Dampak Tarif Impor Resiprokal Trump Terhadap Ekonomi Indonesia, Anthony Budiawan:  Krisis Moneter Menanti

JAKARTASATU.COM Guncangan besar melanda ekonomi dunia. Kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan menerapkan tarif impor resiprokal membuat pasar saham global jatuh dan menciptakan ketidakpastian ekonomi lintas benua.

Menurut Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), tarif resiprokal yang diberlakukan Trump sejak 3 April 2025 telah memicu efek domino terhadap ekonomi global, termasuk Indonesia. Dampak Tarif Impor Resiprokal Trump Terhadap Ekonomi Indonesia, Krisis Moneter Menanti.

“Ini bukan sekadar tarif perdagangan. Ini adalah bentuk agresi ekonomi,” ujar Anthony kata Anthony kepada Jakartasatu.com, Ahad (6/4/2025).

“Trump mengenakan tarif dasar 10 persen, lalu ditambah tarif resiprokal yang besarannya tergantung dari selisih tarif antarnegara. Untuk Indonesia, total tarif menjadi 42 persen. Ini hukuman,” tambahnya.

Anthony menyebut ekspor Indonesia ke AS akan terpukul sangat berat.

“Dengan tarif setinggi itu, produk Indonesia menjadi tidak kompetitif. Industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, furnitur, hingga produk agrikultur sangat rentan kehilangan pasar,” jelasnya.

Padahal Amerika Serikat merupakan salah satu tujuan ekspor utama Indonesia.

“Kehilangan pasar ini berarti kehilangan devisa dalam jumlah besar,” tambahnya.

Dampak lanjutan dari anjloknya ekspor, menurut Anthony, adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

“Devisa menurun, sementara impor tetap jalan. Permintaan dolar meningkat, rupiah pasti tertekan,” katanya.

Ia memperingatkan, pelemahan rupiah akan mendorong naiknya harga barang-barang impor dan memicu inflasi.

“Ini akan menggerus daya beli masyarakat secara luas,” tegasnya.

“Banyak industri kita bergantung pada pasar ekspor, khususnya ke AS. Kalau permintaan jatuh, produksi akan turun, dan pada akhirnya bisa terjadi PHK massal,” kata Anthony.

Ia menyebut dampaknya bukan hanya pada ekonomi makro, tetapi akan langsung dirasakan oleh pekerja dan rumah tangga.

Anthony menilai pemerintah Indonesia harus segera mengambil posisi yang jelas.

“Kita tidak bisa diam. Ada tiga pilihan: tunduk dengan menurunkan tarif, melawan dengan tarif balasan, atau masuk ke jalur negosiasi,” ujarnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa setiap opsi memiliki risiko.

“Menurunkan tarif bisa membunuh industri lokal. Melawan bisa picu perang dagang. Negosiasi pun belum tentu menghasilkan keadilan,” katanya.

Di akhir analisanya, Anthony menegaskan bahwa Indonesia membutuhkan strategi nasional untuk menghadapi era proteksionisme baru ini.

“Tanpa langkah cepat dan tegas, kita bisa terseret arus resesi ekspor yang sangat dalam,” tutupnya. (Yoss)