“Kerugian BUMN Bukan Kerugian Negara: Di Mana Letak Hati Nurani Negara?”

Indonesia baru saja melewati Ramadan, sebuah bulan refleksi, pengendalian diri, dan pembenahan hati. Di penghujungnya, masyarakat berbondong-bondong pulang kampung, saling memaafkan, dan berharap lembaran baru kehidupan akan membawa angin segar.
Tapi di tengah gegap gempita Lebaran itu, sebuah keputusan penting telah diam-diam lahir di gedung parlemen: Revisi Undang-Undang BUMN disahkan, dan salah satu pasalnya menyatakan bahwa kerugian BUMN bukan merupakan kerugian negara. Kalimat ini, bagi sebagian orang, mungkin terdengar teknokratis.
Namun, bagi siapa pun yang paham arti BUMN dalam struktur keuangan negara, pasal ini bagaikan bom waktu hukum yang siap meledakkan akuntabilitas, menghancurkan transparansi, dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap negara.
BUMN: Badan Usaha atau Badan Amanah?
BUMN bukan entitas biasa. Mereka adalah lengan ekonomi negara yang diberi mandat mengelola aset publik, menjalankan layanan strategis, dan menghidupi sektor-sektor vital: listrik, air, transportasi, energi, hingga keuangan.
Modal awal mereka bersumber dari APBN—artinya dari keringat rakyat, dari setiap rupiah pajak yang kita bayarkan. Maka ketika sebuah BUMN merugi, wajar jika rakyat merasa ikut kehilangan. Karena memang begitu seharusnya: kerugian BUMN adalah kerugian negara, dan dengan itu, kerugian rakyat.
Namun sekarang, melalui pasal dalam UU BUMN yang baru, hubungan itu hendak diputus secara paksa dan konyol. Negara seolah berkata: “Kalau BUMN rugi, itu urusan mereka.
Bukan tanggung jawab saya.” Ini bukan hanya pengingkaran hukum. Ini pengkhianatan terhadap prinsip dasar demokrasi ekonomi.
Dalih “Bisnis” yang Menyesatkan Para pembuat undang-undang berdalih bahwa pasal ini dimaksudkan untuk memberi fleksibilitas pada BUMN agar lebih kompetitif di dunia usaha.
Bahwa BUMN harus diperlakukan seperti perusahaan biasa agar tak tersandera birokrasi. Mereka bahkan menyebutnya sebagai bentuk “profesionalisasi”.
Namun mari kita bertanya dengan jujur: Apakah semua BUMN dikelola profesional?
Apakah direksi BUMN direkrut tanpa intervensi politik?
Apakah pengangkatan komisaris tidak sarat titipan kekuasaan?
Apakah pengelolaan proyek tidak rawan mark-up dan permainan rente?
Fakta-fakta selama ini justru menunjukkan hal sebaliknya.
BUMN seringkali menjadi “ladang kekuasaan” dan “ajang balas budi politik.” Maka ketika pengawasan dikendurkan, dan kerugian tak lagi dianggap sebagai kerugian negara, yang terjadi bukan efisiensi, tapi justru legalisasi pembiaran.
Bayangan Gelap di Balik Pasal Ini Dampaknya sangat luas dan dalam. Dengan pasal ini, Pasal 4B dalam draf UU BUMN yang dirilis pada 4 Februari 2025 menegaskan bahwa modal dan kekayaan BUMN adalah milik BUMN, bukan negara.
Ini berarti, baik keuntungan maupun kerugian yang dialami perusahaan pelat merah tidak secara langsung memengaruhi keuangan negaraaparat penegak hukum seperti KPK atau BPK bisa kehilangan dasar hukum untuk menyelidiki kerugian di tubuh BUMN. Karena jika bukan kerugian negara, maka unsur pidana korupsi menjadi kabur. Celah ini bisa digunakan oleh banyak pihak untuk meloloskan diri dari jerat hukum.
Bayangkan sebuah BUMN merugi Rp50 triliun karena proyek gagal. Di tengah proses itu, ada dana-dana yang dikorupsi oleh elite internal.
Tapi ketika aparat masuk menyelidiki, muncul argumen: “Ini bukan kerugian negara.” Maka proses hukum pun bisa dipatahkan sejak awal. Dan celakanya, kerugian itu tak akan kembali.
Sementara rakyat tetap harus membayar pajak, listrik tetap naik, dan pelayanan publik tetap buruk. Maka siapa yang sebenarnya kalah dalam skema ini? Kita. Kita semua. Ini Bukan Soal Undang-Undang, Ini Soal Masa Depan Pasal ini adalah sinyal bahwa negara mulai kehilangan arah moral dalam mengelola keuangan publik. Ia tak lagi merasa wajib mempertanggungjawabkan uang rakyat yang dititipkan padanya.
Kalau hari ini negara bisa bilang “itu bukan kerugian saya,” maka besok negara bisa bilang “itu bukan urusan saya.” Ini bukan semata perdebatan hukum. Ini adalah peringatan dini bahwa sistem keuangan negara kita sedang dijarah lewat cara yang rapi dan legal. Karena ketika pencurian dilegalkan lewat pasal, maka kita sedang menyaksikan korupsi model baru—yang tidak perlu bersembunyi, karena sudah diberi rumah di dalam undang-undang.
Saatnya harus kita tidak bisa diam. Pasal ini harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Dan semoga ada yang membawa ke MK.
Kita harus mendesak partai-partai untuk mengevaluasi kembali keputusan politiknya. Kita harus memaksa ruang publik untuk bersuara, bukan hanya mengeluh di media sosial.
Ini adalah titik genting dalam sejarah pengelolaan keuangan negara. Jika kita membiarkannya lewat, maka kita sedang mengundang gelombang korupsi baru yang lebih sulit ditangkap, lebih tersembunyi, dan lebih merusak daripada sebelumnya. Karena ketika negara tak merasa rugi, maka rakyatlah yang sesungguhnya kehilangan. Dan jika rakyat tak lagi dipercaya untuk bertanya, maka negara sudah tak peduli rakyat kita.  (jaksat-ata)