Hebat, Agar Dicontoh Masyarakat, Utusan Khusus Presiden Mudik Naik Bus
Oleh Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Kebanyakan kita mungkin telah sepakat bahwa dunia adalah panggung sandiwara, namun sialnya di panggung ini tampaknya kita kekurangan aktor yang paham peran.
Di suatu pagi yang cerah dan penuh harapan (dan kamera), Sebagian besar rakyat Indonesia terbangun oleh breaking news yang kali ini terasa lebih menggelegar dari harga beras yang naik bahkan lebih mengguncang dibanding kode keras yang dikirimkan oleh mantan.
Utusan Khusus Presiden, Raffi Ahmad, mudik naik bus! Iya, naik bus! Bukan jet pribadi, bukan Alphard konvoi ber-voorijder, tapi bus umum. Dus, sekejab netizen pun terlihat terharu…, lalu tertawa…, lalu menangis. Tapi tentu saja bukan karena terharu, melainkan justru karena terlalu banyak tertawa.
Bagaimana tidak, di negeri yang selama ini sudah kenyang dengan gimmick governance ini, aksi tersebut terdengar laiknya stand-up comedy yang sayangnya berkualitas rendah. Niatnya dibuat lucu, tapi punchline-nya justru bikin mules atau mual karena muak.
Ironisnya, Raffi, sang sultan Andara itu menyampaikan bahwa ia naik bus agar “masyarakat mencontohnya.” Nah, di sinilah logika mulai menguap, terseret angin AC bus ekonomi. Karena jika naik bus adalah tindakan heroik, maka para buruh, mahasiswa, emak-emak ke pasar, dan tukang baso adalah pahlawan nasional yang selama ini selalu melakukannya tapi belum diberi medali penhargaan.
Ada banyak paradoks yang justru terbetik dari aksi yang dimaksudkan untuk memberi teladan tersebut.
Pertama, Paradoks Representasi Elit Pop. Menurut Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis yang tidak pernah naik bus PPD, kekuasaan simbolik terletak pada siapa yang memegang kendali atas narasi. Raffi, dengan segala kekuatan mediatiknya, menjual simbol mudik rakyat dalam kemasan luxury PR stunt. Tapi masyarakat hari ini bukanlah masyarakat era Orde Pager, yang hanya melihat apa yang ada di TVRI. Mereka sudah melek digital, bisa membedakan mana kesederhanaan autentik dan mana “kemiskinan performatif”.
Kedua, Metafora Ayam Mencontoh Telur. Aksi ini ibarat ayam yang mengumumkan bahwa ia kini mencoba meneladani telur dengan cara “tidur di sarang.” Padahal masyarakat sudah naik bus jauh sebelum Raffi bisa menyebut “transportasi publik” tanpa gagap. Kalau kata akun @malibutight, “kebalik kocak, dia yg nyontoh rakyat yang ada”. Sebuah refleksi epistemologis yang lebih jujur dari pidato kenegaraan.
Ketiga, Ironi Meritokrasi Palsu. Seorang netizen sempat nyeletuk, “Kalau mau jadi contoh teladan, gimana kalau mengundurkan diri dari pemerintahan jika itu tidak didapat dari meritokrasi?” Nah ini adalaah sebuah satire elegan tentang bagaimana kekuasaan bukan lagi tentang layak atau tidak, tapi tentang seberapa banyak followers Anda. Filsuf Korea, Byung-Chul Han, pernah menulis tentang era “transparansi palsu”, di mana semuanya tampak terbuka tapi nihil makna. Raffi naik bus? Terbuka. Tapi substansi? Kosong. Ini seperti selfie di pantai sambil bilang, “Save the Ocean” dengan botol plastik di tangan.
Keempat, Teori Gagalnya Influencerisasi Negara. Dalam teori komunikasi politik modern, Joseph Nye menyebutkan pentingnya “soft power” dalam membentuk persepsi publik. Tapi soft power yang dipaksakan dari aktor yang tak kredibel justru menjadi cringe power. Kalau pemerintah mau cari duta transportasi publik, mengapa tidak angkat Pak Supir Transjakarta yang tiap hari bangun jam 4 subuh dan tidak pernah viral? Oh iya ya, mungkin ini karena dia tidak punya 75 juta followers dan tidak menikah dengan selebgram pula ya.
