Kekerasan terhadap Jurnalis: Sebuah Ancaman Nyata terhadap Demokrasi
Oleh Aendra Medita*)
DALAM ruang demokrasi yang sehat, jurnalis adalah mata dan telinga publik. Mereka berdiri sebagai penjaga suara kebenaran dan penyeimbang kekuasaan. Namun baru-baru ini, kita kembali dihadapkan pada sebuah ironi besar: kekerasan terhadap jurnalis justru dilakukan oleh pihak yang seharusnya menjadi pelindung hukum dan konstitusi. Seorang ajudan Kapolri, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com, bertindak agresif terhadap jurnalis di lapangan.
Permintaan mundur yang seharusnya bisa dilakukan secara manusiawi, justru berubah menjadi intimidasi kasar, dorongan fisik, hingga ancaman verbal yang brutal. Seorang pewarta foto dari Kantor Berita Antara, Makna Zaezar, menjadi korban pemukulan di kepala.
Tak berhenti di situ, ajudan tersebut bahkan mengancam jurnalis lain dengan kalimat: “Kalian pers, saya tempeleng satu-satu.” Ini bukan sekadar arogansi kekuasaan, ini adalah bentuk nyata dari kekerasan institusional. Kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya persoalan etika atau disiplin internal, tetapi penghinaan terhadap pilar demokrasi.
Di balik setiap kamera dan mikrofon, ada hak publik untuk tahu, ada suara rakyat yang menuntut transparansi. Pertanyaannya, di mana sikap resmi institusi?
Apakah aparat penegak hukum sudah begitu alergi terhadap sorotan media?
Ataukah ini menjadi tanda bahwa kultur kekuasaan yang represif masih hidup dalam sistem kita?
Kita tidak sedang membicarakan insiden sepele. Ini adalah simbol dari sebuah krisis yang lebih dalam: krisis penghormatan terhadap kebebasan pers dan supremasi sipil.
Jika seorang ajudan di level tertinggi bisa melakukan tindakan seperti itu tanpa rasa takut terhadap konsekuensi, maka siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya?
Presiden Joko Widodo dalam banyak kesempatan menegaskan pentingnya kebebasan pers. Namun narasi tanpa tindakan hanya akan menjadi lip service. Kita menuntut pertanggungjawaban.
Bukan hanya klarifikasi, tapi juga proses hukum dan sanksi nyata. Karena jika negara membiarkan tindakan seperti ini terus terjadi, maka yang rusak bukan hanya institusi, melainkan kepercayaan publik.
Dan ketika kepercayaan publik hancur, demokrasi kehilangan rohnya. Sudah saatnya semua pihak, terutama institusi kepolisian, merefleksikan kembali peran dan etika mereka. Jurnalis bukan musuh.
Mereka adalah mitra kritis dalam membangun bangsa yang adil dan transparan. Jika kekuasaan tidak bisa dikritik, maka kita sedang berjalan mundur ke zaman kegelapan.
Dan itu bukan Indonesia yang dijanjikan oleh konstitusi.
Hizbullah Indonesia:
REZIM DRAKULA PASTI GAGAL (3): Seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada Juga Punya Pontensi Menjatuhkan Wowok...
Sri-Bintang Pamungkas
Universitas Indonesia masih bisa diacungi Jempol ketika...
KETIKA PRESIDEN BICARA DENGAN MASYARAKATOleh: Radhar Tribaskoro
Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Dalam suasana politik yang kerap kali keruh oleh propaganda, noise digital, dan retorika...
TPUA Sambangi Rumah Jokowi, Amin Rais: Tidak Ada Ijazah Asli Penjara 6 Tahun Menanti
JAKARTASATU.COM-- Tokoh reformasi yang juga merupakan ketua Dewan Syuro Prof Dr...
EDITORIAL JAKARTASATU.COM: UGM, JANGAN MAIN API DENGAN KEBENARANMENARIK ada pernyataan dari Prof. Dr. Markus Priyo Gunarto, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadja Mada...
Fitnah Ijazah Palsu Jokowi, Loyalis Jokowi Lamongan: Tangkap Dokter Tifa!
JAKARTASATU.COM-- Isu lama mengenai dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke...