Konsekuensi Logis Jabatan Prabowo dan Puan Wajib Kejar Jokowi Terkait Korban 894 Orang KPPS

Penyelenggara negara kontemporer eksekutif (pemerintahan) Kabinet Merah Putih/ KMP dan legislatif, Para Wakil Rakyat di DPR RI periode 2024-2029 Presiden Prabowo dan Puan selaku Ketua DPR RI,  menjelang 200 hari kerja mereka, perlu diingatkan terkait pertanggungjawaban moral dan hukum di sektor fungsi pelaksanaan (eksekusi) dan fungsi pengawasan/ kontrol (legislasi) disektor pelaksanaan penegakan terhadap peristiwa (sejarah) “politik-hukum” yang belum kadaluarsa yang amat tragis dan memilukan pada kurun waktu 2019-2024 di era kepemimpinan Jokowi yang merenggut nyawa anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), kelompok yang dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara untuk melaksanakan pemungutan suara di tempat pemungutan suara, dengan beban tugas untuk mengawal jalannya proses pemungutan suara di tempat pemungutan suara pada tingkat Kabupaten/ Kota di seluruh wilayah di Republik Indonesia.

Terhadap kematian anggota KPPS tersebut pada tahun 2019 masyarakat yang peduli telah membentuk Tim Aliansi Masyarakat Peduli Tragedi Kemanusiaan Pemilu 2019 (AMP-TKP), dan akhirnya berhasil melakukan audiensi dengan para pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat RI, Selasa (14/5/2019).

Tim AMP-TKP yang diantaranya beranggotakan seorang tokoh mantan Ketua Umum Muhammadiyah Dien Syamsudin, mengadakan pertemuan dengan wakil rakyat, lalu Tim mengantongi kesepakatan dan persetujuan dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, di antaranya perlu segera dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) atas derita kesakitan dari ribuan petugas Penyelenggara Pemilu dan meninggalnya ratusan petugas KPPS 2019.

Adapun alasan dibentuknya TGPF ini disebabkan korban para petugas KPPS yang meninggal memiliki tanda-tanda tidak logis, dan anehnya pemerintah dan atau KPU RI sampai saat ini 2025 tidak menyarankan dan tidak mendorong keras agar pihak penyidik Polri mengusut demi mengetahui kejelasan penyebab kematian dengan pola terhadap para korban lebih dulu dilakukan visum.l, disebakan kematian mereka para anggota KPPS (saat itu) berhubungan dengan ‘tugas mulia’ karena berhubungan  keberlangsungan pemerintahan dan kepemimpinan negara (politik dan kursi kekuasaan negara) melalui agenda Pemilu sejak 17 April sampai 14 Mei 2019.

Perlu diketahui saat itu (2019) catatan TGPF datanya menunjukan para Petugas KPPS sang meninggal dunia mencapai 604 orang, namun belakangan angka korban dari para petugas KPPS mencapai jumlah 894 orang.

Untuk itu pemerintahan saat ini, yang sudah tidak lagi di bawah kekuasaan Jokowi, hendaknya tampil berani melanjutkan agenda TGPF untuk mengusut penyebab kematian 894 orang korban pemilu 2019, selain setiap kejahatan sehingga matinya orang memang wajib diungkap, dan penguasa saat ini ideal sekaligus membentuk TGPF terhadap 6 orang korban pengawal HRS (Pembunuhan Berencana/ moord, Jo. 340 KUHP) dengan cara-cara sadis (extra yudicial killing) di KM. 50 (12/ 2020), selain disebabkan para  pelaku unlawfull killing dimaksud baru hanya terhadap 2 (dua) orang pleger yaitu, Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella, artinya Tersangka/ terdakwa belum menyentuh medelpleger atau pelaku turut serta, termasuk para intelektualis atau otak pelaku (doenpleger dan uitlokker) atau orang yang menyuruh lakukan dan atau pembujuk.

Terlebih fakta hukumnya kedua terdakwa (doenpleger) dinyatakan sebagai aparatur yang fungsional melaksanakan tugasnya dengan bukti dibekali resmi surat penugasannya, untuk melakukan pengintaian (surveilance ), lalu pertimbangan putusannya menyatakan kedua terdakwa telah melakukan pembunuhan oleh sebab terpaksa akibat adanya perlawanan korban (noodweer exces Jo. Pasal 49 KUHP) maka para pelaku divonis bebas (onslag), tentu saja dari perspektif dan logika hukum terhadap peristiwa a quo unlawful killing, bahwa para pelakunya nyata-nyata memiliki mens rea/ unsur dolus karena surveillance melalui proses preparing dan briefing (dinas dan kelengkapan), yakni ada faktor subjek hukum pemberi tugas (dengan sengaja), dan ada unsur yang disuruh bertugas atau pelaksana tugas, maka pertimbangan hukum Hakim Majelis kuat diduga sengaja menyimpang, oleh sebab selain adanya kelengkapan surat kelengkapan, serta hakim yang dianggap segala tahu (asas ius curia novit Jo. Presumptio iures de iur/ fiksi hukum), juga hakim dapat dinyatakan sengaja melupakan asas hukum tentang delik culfa, yakni lalai yang mengakibatkan orang mati juga dihukum, walau tidak seberat sanksi terhadap delik dolus/opzet atau sengaja dilakukan.

Selanjutnya penguasa penyelenggara negara saat ini eksekutif dan legislatif, diharapkan segera melakukan pembentukan TGPF terhadap peristiwa tahun 2022 yang menimbulkan korban seratus lebih penonton pertandingan sepak bola di stadion Kanjuruhan Malang.

Dan terhadap ketiga peristiwa hukum yang menyangkut kematian korban Para Petugas KPPS, KM.50 dan Stadion Kanjuruhan dengan jumlah korban nyawa 1000 orang tak bersalah, harus menjadi beban pertanggung jawaban moral dan hukum eks presiden Jokowi, selaku penguasa penyelenggara negara nomor 1 ditanah air pada tahun  2019-2024.

Selain oleh sebab konstitusi atau semua sistim hukum positif di Negara RI, tidak terdapat asas legalitas yang isi ketentuannya menyatakan  bahwasanya teradap bentuk kejahatan konspirasi politik yang berupa delik atau tindak kriminal pembunuhan yang dilakukan pihak aparatur negara (polri, sipil pejabat publik atau penyelenggara negara) baik yang dilakukan dengan sengaja atau faktor lalai (dolus/culfa), tidak dapat diproses hukum atau tidak dapat diadili atau tidak dapat dituntut secara hukum, selain dan melainkan, siapapun dan apapun status jabatan atau derajat pelaku delik adalah tunduk kepada asas primus inter pares/ tidak ada kekecualian,  hal persamaan hak ini dinyatakan secara tegas didalam konstitusi dasar UUD. 1945, bahwa setiap WNI sama dihadapan hukum atau equality before the law.

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik).