Pariwisata Tak Kebal dari Krisis Global, Paul MS: Jangan Terlalu Percaya Diri, Bu Menteri

JAKARTASATU.COM Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyantakan bahwa sektor pariwisata bisa jadi penyeimbang ekonomi Indonesia, di tengah guncangan akibat kebijakan tarif tinggi Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Menurutnya, pariwisata adalah bentuk “ekspor jasa” yang tidak terganggu oleh perang dagang. Bahkan, ia optimistis sektor ini bisa jadi bantalan ekonomi nasional, terutama dalam menjaga stabilitas rupiah dan cadangan devisa.

Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana mengatakan sektor pariwisata bisa menjadi andalan Indonesia untuk menjaga stabilitas ekonomi di tengah terganggunya industri ekspor barang karena kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Untuk Indonesia, Presiden ke -7 Amerika Serikat itu memberlakukan tarif impor sebesar 32 persen.

Menurut Widi, pariwisata merupakan salah satu sektor yang tidak akan terdampak dari perang dagang yang terjadi saat ini. “Ketika eskpor barang terkena tarif tinggi, kita harus melihat sektor lain yang bisa menjadi penyeimbang. Pariwisata adalah bentuk ekspor jasa yang tidak terganggu oleh kebijakan tarif dagang,” kata dia melalui laman instagram @widi.wardhana pada Sabtu, 5 April 2025.

“Pernyataan ini memang terdengar optimis dan patriotik. Namun, jika kita perhatikan lebih dalam, optimisme ini berisiko menyesatkan. Karena faktanya, pariwisata justru sangat rentan terhadap gejolak ekonomi global termasuk dampak dari perang dagang yang dipicu oleh tarif Trump,” kata Pengamat kebijakan publik yang juga Founder ORIN Tourism Consultant Development kepada wartawan, Senin 7/4/ 2025.

Tarif Tinggi, Ekonomi Global Melemah

Dikemukakan Paul MS, kebijakan tarif tinggi Amerika termasuk terhadap Indonesia yang dikenai bea masuk 32 persen bukan hanya mengganggu ekspor barang, tapi juga mengacaukan ekonomi negara-negara mitra dagang. Negara-negara seperti Tiongkok, Eropa, hingga Kanada merespons dengan tarif balasan.

“Hasilnya? Yang terjadi rantai pasok terganggu, harga barang naik, produksi melambat, dan investor jadi was-was,” ujar Paul.

“Ketika ekonomi global melambat, masyarakat dunia akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang. Liburan ke luar negeri Bali dan Labuan Bajo ? Bisa jadi hal pertama yang mereka tunda. Inilah efek domino yang kerap dilupakan, kebijakan tarif yang terlihat hanya menyasar ekspor barang ternyata menjalar hingga ke sektor jasa, termasuk pariwisata,” jelasnya.

Wisata Bukan Kebutuhan Pokok

Paul mengingatkan, liburan adalah kegiatan yang sangat bergantung pada “mood” ekonomi. Ketika dompet menipis dan ketidakpastian meningkat, orang cenderung menunda bepergian. Jadi, menyebut pariwisata sebagai sektor yang tak terganggu oleh krisis global terdengar terlalu percaya diri. Ingat krisis ekonomi global 2008? Ingat pandemi COVID-19? Pariwisata justru jadi sektor paling awal yang tumbang dan paling akhir pulih.

Menjual Optimisme Tanpa Melihat Realita

Paul menjelaskan strategi menaikkan jumlah wisatawan mancanegara memang bagus di atas kertas. Tapi, apakah realistis dilakukan saat ekonomi global sedang goyah? Negara-negara pengirim turis juga sedang menghadapi tekanan ekonomi. Jika warga mereka kehilangan pekerjaan atau pendapatan berkurang, jelas mereka tidak akan memprioritaskan liburan ke luar negeri, apalagi ke Indonesia yang kini turut terkena imbas tarif.

“Mengandalkan devisa dari sektor pariwisata dalam kondisi dunia tidak pasti seperti sekarang, ibarat menumpukan harapan pada pasir yang mudah tergerus ombak. Belum lagi tantangan lain seperti infrastruktur yang belum merata, keamanan dan kebersihan di destinasi , atau promosi yang kurang maksimal serta tak tepat sasaran,” terang  Paul.

Pariwisata Itu Penting, Tapi Bukan Solusi Cepat

Menurut Paul, tidak ada yang menyangkal pentingnya sektor pariwisata untuk ekonomi lokal, UMKM, dan penciptaan lapangan kerja. Tapi menjadikannya sebagai solusi utama untuk menambal kebocoran sektor ekspor adalah langkah yang terlalu menyederhanakan persoalan. Apalagi kalau alasannya adalah karena “pariwisata tidak terkena tarif”.

Sebaliknya, Indonesia butuh strategi ekonomi yang lebih realistis dan komprehensif. Diversifikasi ekonomi, perbaikan iklim investasi, penguatan pasar dalam negeri, hingga reformasi struktural jauh lebih mendesak daripada menjual optimisme semu bahwa turis bisa menyelamatkan ekonomi.

“Satu hal yang pasti, pariwisata bukanlah sektor yang kebal terhadap krisis global. Dan dalam situasi seperti sekarang, kita butuh pejabat publik dan pemimpin yang berani berkata jujur dan realistis serta mampu membaca dengan jernih konteks ekonomi global dan tantanganya saat ini, bukan sekadar menjual harapan,” pungkasnya. (Yoss)