Ijazah, Delik, dan Tiga Kali Seumur Hidup untuk Jokowi
Oleh: Optic Macca
Pasal 272 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, melarang penggunaan sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, atau vokasi yang palsu. Pelanggar diancam pidana enam tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta.
Seandainya pelanggaran itu dilakukan di masa berlakunya KUHP lama, maka pasal yang relevan adalah Pasal 266 KUHP: pemalsuan dokumen resmi—akta kelahiran, surat nikah, atau surat keputusan—dengan ancaman pidana paling lama tujuh tahun. Jika ijazah dianggap sebagai dokumen autentik, maka Pasal 264 KUHP lebih tepat digunakan, dengan ancaman delapan tahun penjara.
Lantas, asas hukum mana yang dapat digunakan untuk menyeret Jokowi ke meja hijau? Jika masa kadaluarsa delik belum lewat (yakni 12 tahun), maka penyidikan atas dugaan penggunaan ijazah palsu masih bisa dilakukan.
Apabila proses hukum dimulai setelah Januari 2026, Pasal 272 KUHP baru wajib digunakan. Namun, jika sebelum 2026, tetap dapat menggunakan pasal tersebut. Apa alasannya? Karena asas non-retroaktif memberi ruang penggunaan pasal yang lebih ringan di antara dua rezim hukum yang berbeda.
Namun, bukan itu saja. Dalam konteks delik berlapis, maka Pasal 64 KUHP (konkursus realis) dapat menjerat Jokowi. Pasal ini memungkinkan penggabungan beberapa tindak pidana yang berbeda namun dilakukan oleh satu pelaku. Di sinilah hukuman bisa menjulang setinggi-tingginya: bukan hanya satu seumur hidup, tapi tiga kali seumur hidup—bahkan, bukan tidak mungkin, hukuman mati.
Mengapa? Karena dugaan terhadap Jokowi bukan cuma soal ijazah. Tapi soal nepotisme, pembangkangan terhadap konstitusi (disobedient), serta obstruksi atas sistem hukum dan demokrasi. Pelanggaran ini tidak perlu menunggu laporan korban. Ia termasuk delik umum, delik formil, sekaligus delik materil.
Dari segi konstruksi hukum, Jokowi bisa saja tidak hanya sebagai pelaku pasif (medeplichtige), melainkan sebagai doenpleger (pelaku utama intelektual), atau bahkan uitlokker (penghasut kejahatan).
Disobedient atau pembangkangan terhadap aturan hukum bisa menambah sepertiga hukuman pidana pokok. Belum lagi jika terbukti dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Maka kumulasi dakwaan dalam bentuk splitsing (perkara terpisah) akan memperberat sanksi.
Konklusi: hukum tidak butuh basa-basi dalam perkara ini.Jika kelak para tokoh bangsa masih punya keberanian moral, maka Jokowi—sebagai simbol kekuasaan yang menertawakan hukum—layak dijatuhi vonis maksimal, tanpa perlu berbicara tentang “keadilan”. Karena sejak Orde Lama, kata itu sudah lama terkubur. Yang tersisa kini hanyalah pertanyaan: apakah bangsa ini masih punya nyali?