MENATA ULANG INDONESIA, KEMBALI KE PIAGAM JAKARTA ATAU PIAGAM MADINAH?

Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik

“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya

[Kutipan sila ke-1 Pancasila, versi Piagam Jakarta]

Menarik sekali, diskusi hangat tentang sistem politik dan ketatanegaraan bersama Dr. Mulyadi, S.Sos., M.Si., juga sejumlah tokoh lainnya di GWA Konstitusi dan Masalah Negara (Rabu, 9/4). Admin Group WA ini adalah Bang Hatta Taliwang, salah satu tokoh yang juga konsen mengusung narasi Kembali ke UU 45 asli, sebagai langkah taktis dan strategis menyelamatkan Indonesia.

Dalam konteks kajian faktual kekinian, mayoritas kami sepakat tentang kondisi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Hanya saja, kami masih berbeda pandangan tentang sebab atau akar masalah yang menyebabkan kerusakan Indonesia.

Begitu juga tentang solusi untuk ‘Indonesia yang tidak baik’, penulis termasuk yang juga memiliki pandangan berbeda. Penulis termasuk yang tidak sependapat mengajukan narasi kembali ke UUD 45 yang asli, karena perbedaan analisis masalah yang menjadi problem pokoknya.

Masalah bangsa Indonesia, tidak sekedar perubahan konstitusi (amandemen). Karena itu, mengembalikan konstitusi ke asalnya (ke UUD 45 asli), tentu juga tak akan menyelesaikan masalah yang menimpa Indonesia.

Akar masalah bagi bangsa Indonesia, termasuk umat Islam diberbagai negeri lainnya, adalah dipaksakannya sistem sekuler dari ideologi kapitalisme melalui sistem politik demokrasi. Sistem politik demokrasi dari ideologi kapitalisme inilah, yang meminggirkan bahkan mengharamkan Wahyu Allah SWT, aturan sang maha pencipta, untuk mengatur manusia dan kehidupannya.

Padahal, sebagai seorang muslim kita semua yakin bahwa hanya Islam agama yang sempurna. Kita juga meyakini, syari’at Islam adalah aturan yang sempurna untuk mengatur kehidupan manusia, baik dalam ranah pribadi, keluarga, kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara.

Sistem demokrasi, telah memenjara syariat Islam sehingga hanya mengatur persoalan ibadah umat Islam. Itupun, sifatnya sangat parsial.

Sementara sistem kehidupan, pengaturan negara dan masyarakat, persoalan publik, walaupun umat Islam meyakini agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, tetapi dalam urusan politik dan bernegara Umat Islam dipaksa menerapkan ajaran Montesqueue, John Locked, dan doktrin Yahudi lainnya. Dalam ekonomi, umat Islam dijauhkan dari Al Qur’an yang mengharamkan riba dan dipaksa mengikuti doktrin Adam Smith, David Ricardo, Karl Marx, dll.

Karena itu, ketika ada yang mempersoalkan Piagam Jakarta, karena ada yang telah berkhianat pada Founding Fathers dengan menghilangkan 7 kata Piagam Jakarta, penulis juga menyampaikan pendapat berbeda. Bahkan, dalam forum GWA tersebut penulis tegas menyatakan 7 kata dalam Piagam Jakarta itu Batil (keliru).

Konsep Pancasila dalam Piagam Jakarta yang dibentuk oleh Panitia Sembilan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 22 Juni 1945, lengkapnya demikian:

1. Ketuhanan

“Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”

2. Kemanusiaan

“Kemanusiaan yang adil dan beradab”

3. Persatuan

Persatuan Indonesia”

4. Kerakyatan

“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”

5. Keadilan sosial

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Frasa ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” adalah ungkapan yang batil ditinjau dari beberapa aspek, yaitu:

Pertama, frasa ‘ketuhanan’ dalam redaksi ‘ketuhanan yang maha esa’ tidak langsung isbath kepada Allah SWT. Frasa ‘ketuhanan’ ini juga potensial ditafsirkan pada makna tuhan selain Allah SWT, termasuk tuhan-tuhan kaum paganis yang menyakini politeisme.

Padahal, konsep akidah dalam Islam tegas. “Katakanlah, Allah itu satu’.

Kedua, frasa ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ bertentangan dengan ajaran/doktrin/ajaran Islam, yang menyatakan Islam adalah agama rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya agama bagi segenap pemeluknya.

Praktik penerapan syari’at Islam sejak era Rasulullah Saw di Daulah Islam Madinah, dilanjutkan oleh para Khalifah pengganti beliau pada era Kekhilafahan Islam, juga menerapkan syari’at Islam kepada seluruh rakyat. Bukan hanya kepada pemeluknya.

Karena, dalam konsep kewarganegaraan Islam dibagi menjadi dua:

1. Warga Negara Islam (Khilafah) yang beragama Islam, yang mendapatkan hak, kewajiban dan tanggung jawab sesuai syariat Islam.

Terhadap mereka, seluruh hukum Islam diberlakukan secara komprehensif.

Contohnya, seluruh rakyat yang beragama Islam wajib sholat 5 waktu. Negara, menyiapkan sarana untuk sholat dan mengontrol agar seluruh muslim menunaikan kewajibannya sholat.

Jika ada yang membangkang, maka akan diberi uqubat (sanksi). Jika ada yang melawan, dengan mengatakan sholat tidak wajib, maka sejatinya telah jatuh kafir dan diterapkan sanksi hudud bagi orang murtad.

2. Warga Negara Islam (Khilafah) yang beragama non Islam (Ahludz Dzimmah), yang mendapatkan hak, kewajiban dan tanggung jawab sesuai syariat Islam.

Terhadap mereka, seluruh hukum Islam diberlakukan, kecuali dalam masalah ibadah, makanan, pakaian dan hukum keluarga (privat).

Contohnya, syariat Islam mewajibkan Khalifah selaku Kepala Negara Khilafah menjamin seluruh kebutuhan hidup rakyat yang bersifat primer individu per individu, baik sandang, pangan dan papan. Islam yang mewajibkan Negara menjamin kebutuhan rakyatnya, diterapkan pada seluruh rakyat, tanpa memandang agamanya. Baik dia beragama Islam, kristen, yahudi bahkan musyrik sekalipun, Negara Khilafah wajib menjamin kebutuhan hidup rakyat.

Untuk hal-hal yang bersifat khusus, seperti ibadah, maka rakyat non muslim (Ahludz Dzimmah) diberi kebebasan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam.

Lalu, ada narasi yang menyatakan kita tidak saja kembali ke UUD 45 yang asli. Bahkan, kita harus kembali ke Piagam Jakarta yang memberikan amaran untuk menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Jawabannya, tentu saja tak demikian. Karena problem yang dihadapi juga tak akan selesai dengan kembali ke Piagam Jakarta, apalagi frasa ‘ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ bermasalah.

Menurut hemat penulis, kita harus kembali pada awal sejarah peradaban umat Islam. Yakni, kita harus kembali ke Piagam Madinah (Konstitusi Madinah), karena Piagam Madinah adalah UUD (tertulis) yang paling tua, jauh sebelum adanya Deklarasi Magna Charta (15 Juni 1215).

Substansi dah realitas Piagam Madinah adalah sebagai berikut:

Pertama, Piagam Madinah menegaskan Kedaulatan Negara dan Rakyat ada pada syariat Islam yang dibawa Rasulullah Saw. Seluruh hubungan hukum, hak dan kewajiban, sekaligus tanggung jawab dan kewenangan organ kekuasaan, dikembalikan kepada syari’at Allah SWT yang agung. Penguasa dan Rakyat sama-sama tunduk pada Kedaulatan syariat, yakni ketundukan dan kepatuhan pada aturan dan hukum Allah SWT.

Kedua, Rasulullah Saw sebagai Kepala Negara yang diberi wewenang untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan Kedaulatan syariat. Rasulullah mengatur negara berdasarkan Wahyu, bukan hawa nafsunya. Tidak ada kedaulatan rakyat yang mengendalikan Rasullullah Saw dalam mengelola Negara Madinah. Sebaliknya, Rakyat dan Rasul tunduk pada Wahyu yang berasal dari Allah SWT.

Ketiga, kekuasaan Madinah realitasnya sangat heterogen, terdiri dari mayoritas Yahudi (Bani Nadhier, Qoinuqo, Quraidhoh), Kaum Nasrani (Najran), para Majusi penyembah api dan umat Islam dari kaum Anshar (Aus & Khajraz) dan Muhajirin (Quraisy). Namun, seluruh rakyat diterapkan syariat Islam. Rasulullah tidak menerapkan syari’at Islam hanya kepada kaum Anshar dan Muhajirin, melainkan kepada seluruh penduduk (Rakyat) Madinah.

Tinggal satu soal, bagaimana cara kita kembali ke Piagam Madinah? Sementara Rasulullah Saw telah wafat?

Nah, untuk menjawab hal ini memang butuh waktu panjang. Tapi setidaknya, secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perjuangan mengembalikan syariah Islam melalui institusi Khilafah, adalah perjuangan yang meneladani Rasulullah Saw yang menjadikan hanya Islam sebagai sumber Kedaulatan.

2. Rasulullah Saw memang telah meninggal dunia, namun warisan beliau sebagai sumber hukum Islam yakni Al Qur’an dan hadits, bisa dijadikan rujukan untuk menata ulang Indonesia untuk kembali ke konsep Piagam Madinah.

3. Pandangan politik bisa berbeda, karena adanya motif dan tujuan politik yang berbeda. Namun, dengan menggunakan kaidah akademik (ilmiah), tentu kita bisa membuat metodologi akademik yang digali (istimbath) dari nash nash syar’i, untuk menata perjuangan politik yang mengarah pada mengembalikan Kedaulatan Islam, mengemdalikan kehidupan Islam dengan menerapkan seluruh syariat Islam dalam kehidupan, melalui penegakkan institusi Khilafah.

Penulis setuju dengan komentar Haji Munarman. Sudah terlalu lama, umat Islam menjadi ‘Muslim Dzimmi’, yakni muslim yang dipaksa tunduk dengan hukum-hukum sekuler dari ideologi kapitalisme yang mencengkram negeri ini dan negeri kaum muslimin lainnya.

Semoga, ruang diskusi makin lebar dan terbuka. Sehingga, dapat terjadi Dialektika pemikiran untuk memikirkan nasib bangsa Indonesia yang saat ini telah dijarah oleh orang-orang yang serakah, baik pribumi, asing maupun aseng. [].