Hizbullah Indonesia:

REZIM DRAKULA PASTI GAGAL (2): Dalam Sistim Parlementer, Wowok Pasti Sudah Terlempar Menjadi Pengangguran:   He Is A Real Looser…

Sri-Bintang Pamungkas

Di jaman Pak Harto berkuasa, pernah disampaikan bahwa di Indonesia dilarang ada oposisi. Sekalipun pernyataan politik itu “luar biasa”, tetapi bertentangan dengan paham Demokrasi pada umumnya yang berlaku di Dunia, maka Pak Harto tidak berani menyatakannya secara tertulis. Tentulah beliau tidak berani, karena ada Pasal 28 di dalam UUD 1945. Sekalipun begitu, prinsip anti Demokrasi itu sungguh-sungguh dilaksanakannya sampai-sampai ratusan nyawa hilang oleh peluru-peluru tajam ABRI, dan ratusan pula menjadi Tapol dan Napol di rumah-rumah tahanan dan penjara…

Dalam mengawali kekuasaannya, Pak Harto menyampaikan janjinya untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Apa pun alasan beliau yang ternyata mengingkari janjinya itu, sangat mungkin diilhami oleh jatuh-bangunnya Kabinet Parlementer di jaman Soekarno berkuasa akibat dari ulah oposisi di DPR… Pak Harto dan banyak Warga Negara Indonesia pada umumnya tidak tahu, bahwa di dalam Sistim Pemerintahan Presidensial adanya oposisi di DPR itu penting dan dijamin oleh UUD. Oposisi, sebagai komponen dari Demokrasi, tidak hanya menjadi milik Sistim Pemerintahan Parlementer saja.

Pada November 1945, ada Maklumat dari Pemerintah Soekarno-Hatta tentang diangkatnya seorang Perdana Menteri (PM) untuk mengepalai Kabinet. Sebelum itu, juga ada Maklumat Nomor X dari Bung Hatta untuk mendorong munculnya beragam partai politik; sekali lagi, juga karena alasan Pasal 28 UUD 1945. Memang Pemerintahan tetap dipegang oleh Soekarno-Hatta, baik sebagai Kepala Pemerintahan maupun Kepala Negara. Tetapi, dirasakan perlu adanya Perdana Menteri yang mengepalai Kabinet, di mana orang-orang partai politik bisa duduk di dalamnya; bahkan diadakan pula Wakil Perdana Menteri (Waperdam).

Sutan Sjahrir dari Partai Sosialis Indonesia adalah PM pertama; lalu ada Amir Syarifuddin yang kemudian bergabung dengan PKI Muso 1948; kemudian Bung Hatta menjadi Perdana Menteri merangkap menjadi Menteri Pertahanan dan menumpas PKI Amir-Muso 1948. Bahkan setelah Dekrit Presiden 1959, ada pula Soekarno yang seolah-olah menjadi Perdana Menteri, dengan Subandrio, Leimena, Adam Malik, dan Chaerul Saleh masing-masing menjabat sebagai Waperdam. Memang pada periode antara 1950 sampai 1959 digunakan UUD 1950 yang Parlementer, tetapi UUD 1945 tidak menolak adanya Oposisi di Parlemen terhadap Pemerintah yang berkuasa…

Sepanjang saya tahu, hanya ada dua Negara yang pernah menggunakan Sistim Pemerintahan Presidensial, tapi juga membentuk Kabinet yang dipimpin seorang Perdana Menteri, yaitu Rusia dan Perancis. Sedang Inggris selalu memilih Monarchi Parlementer, ada Raja atau Ratu sebagai Pemimpin Negara, dengan Perdana Menteri sebagai Pemimpin Pemerintahan.

Pada waktu PM Boris Johnson memimpin Pemerintahan Inggris ada mosi tidak percaya dari Parlemen yang mengakibatkannya jatuh. Selain masalah ekonomi yang kacau, juga karena selama Covid 19 Bo Jo mengadakan pesta di rumahnya, yang melanggar aturannya sendiri dalam “menjaga jarak”. Kepemimpinannya jatuh sesudah 3.5 tahun memerintah, yang lalu digantikan oleh Mary Elizabeth Truss.

Kebijakan Ekonomi Liz pun dianggap tidak meyakinkan Parlemen, sehingga dia pun dituntut mundur. Dalam pembelaannya di depan Parlemen, sambil berdiri gagah Liz pun setengah geram berteriak: “I am a Fighter! I am not a Looser…!” yang menggema di seluruh ruangan Parlemen demi mempertahankan jabatannya. Tetapi seminggu kemudian dia terpaksa mundur juga, mengakhiri jabatannya yang hanya 1.5 bulan. Itulah hebatnya Sistim Parlementer, di mana Parlemen benar-benar memegang Kedaulatan Rakyat: Siapa pun dia yang memegang Pemerintahan harus tumbang manakala keinginan Rakyat tidak dipenuhi.

Demilian pula sebenarnya di dalam Sistim Pemerintahan Presidensial, terlebih-lebih di dalam Sistim UUD 1945: Siapa pun Presidennya, manakala MPR menganggapnya melanggar Konstitusi, undang-undang atau sumpah jabatannya sebagai Presiden, pada saat itu pula dia diharuskan mundur untuk diganti dengan Presiden baru yang juga dipilih MPR, Lembaga Perwakilan Rakyat Tertinggi Negara, yang menjadi Pelaksana sepenuhnya Kedaulatan Rakyat.

Drakula Wiwik dan SBY pun seharusnya jatuh, seandainya Amien Rais, Si Jongos Amerika Serikat, bersama Megawati, tidak mengganti UUD 1945. Tidak saja Kedaulatan Rakyat dihapus dan digantikan dengan Kedaulatan Partai-partai Politik Gadungan, tapi MPR pun “DIPRÈTÈLI” Kekuasaannya, sehingga Presiden tidak lagi menjadi Mandatarisnya… Dengan Pilpres langsung yang CURANG pula, maka Indonesia menjadi rusak berantakan seperti sekarang…

Di bawah Drakula Wowok beserta seratusan Kabinet the Walking Deads-nya itu, Jutaan Cina Daratan Masuk Indonesia didiamkan saja, bahkan sejak Wowok menjadi Menteti Pertahanan. Demikian pula para Oligarki Konglomerat Cina yang sedang membuat Negara Cina di dalam NKRI, samasekali tidak disentuhnya. Apalagi si Drakula Wiwik yang sudah Divonis Mati oleh Rakyat, karena kejahatannya selama 10 tahun lebih, dengan mengantongi Ijazah Palsunya, justru dilindungi dan dipuji-puji Wowok sebagai Dewa yang menyelamatkan dirinya.

Kepala Pemerintahan mana pun di Dunia, yang berperilaku seperti Drakula Wowok pasti akan jatuh dan dijatuhkan oleh Kedaulatan Rakyat: Wowok Becomes a Looser! Very Soon!

Jakarta, 11 April 2025
@SBP