Perilaku Jokowi dan Penyerta Pemalsu Ijazah S.1 Fakultas Kehutanan UGM Belum Kadaluarsa
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Sebelumnya Penulis menyatakan dalam artikel, bahwa khusus delik Ijazah Palsu yang Jokowi lakukan merupakan sebuah delik konkursus idealis, hal ijazah palsu ini diluar delik-delik lainnya yang dilakukan oleh Jokowi yang masuk dalam tindak pidana konkursus realis.
Oleh sebab dalam artikel sebelumnya dinyatakan oleh penulis bahwa perbuatan memalsukan dan atau menggunakan ijazah palsu (delik) ini, penuntutannya telah memasuki masa daluwarsa oleh sebab kategori delik biasa yang unsur-unsur perbuatannya sebagai tindak pidana formil ini, masa penuntutannya telah melampaui masa 12 tahun sejak dilakukan oleh Jokowi dan terhitung sejak ijazah digunakan pada saat pendaftaran kontestan Pilkada Kota Surakarta 2005 dan Pilkada DKI dan Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 sehingga durasi dari 2005 sampai 2025 sudah mencapai tenggang waktu 20 Tahun, sementara merujuk asas hukum terkait daluarsa tuntutan menurut Pasal 78 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang KUHP adalah 12 tahun Jo. Pasal 263, 264 dan 266 KUHP.
Namun menurut temuan pakar IT. (Forensik digital) Dr. Eng Rismon Hasiholan Sianipar, ada tindak lanjut terkait delik terkait pemalsuan ijazah Jokowi, ada unsur menyerupai surat keterangan (BUKU PESERTA WISUDA TAHUN 1985) yang ternyata baru saja dibuat pada tahun 2020 an (dua ribu dua puluhan), maka tentu saja terjadi perbedaan opini hukum penulis yang cukup mendasar (kontradiktif hukum), dengan digarisbawahi, “jika temuan hukum yang baru ini benar adanya”, sehingga kausalitas hukumnya menurut asas hukum dan konsekuensi dari pada pelanggaran pada asas konkursus idealis ini, yakni perbuatan tindak pidana yang dilakukan secara berulang namun mengarah kepada satu kesatuan utuh pada sempurnanya sebuah objek delik, dan ternyata rangkaian kejadian perbuatannya baru selesai pada tahun 2020 an.
Oleh karenanya atas dasar hukum terdapat ‘temuan baru’ yang menunjukan adanya bukti Jokowi masih melanjutkan perbuatan delik konkursus idealis, namun pada realitas perbuatan delik formil a quo dimaksud sudah digunakan, namun pada praktik kenyataannya perbuatan delik tetap masih berlanjut, sehingga Jokowi dan penyertanya pihak ASN UGM yang memiliki kekuatan birokasi atau kemampuan (koordinasi) merupakan pelaku yang penyerta atau bersama-sama melakukan (deelneming) atau medelpleger, sehingga makna hukumnya Jokowi Cs yang terlibat, secara analisa dalil hukum delik yang mereka lakukan masih belum masuk pada tuntutan yang kadaluarsa menurut pasal 78 dalam hubungan hukumnya terhadap pokok perkara a quo in casu Jo. 263 KUHP,
Setidak-tidaknya Jokowi dan para penyertanya pihak ASN UGM (medelpleger) terkait delik konkursus a quo Ijazah palsu masih berada dalam posisi tuntutan yang belum kadaluwarsa.
Selebihnya logis, sosok Jokowi ditengarai justru sebagai intelectual dader, oleh sebab dirinya sebagai pembujuk (uitlokker) atau doenpleger, pelaku utama yang menyuruh lakukan perbuatan pidana, hal logika tuduhan ini masik akal, oleh sebab substantif kebutuhan ijazah palsu adalah demi kepentingan pribadi Jokowi dalam bentuk uraian (kronologis delik) peristiwa hukum ‘jalan sesat’ Jokowi untuk memperoleh jabatan eksekutif dan pada kenyataannya saat ini Jokowi selain mantan presiden yang otomatis sebagai tokoh publik dan sosoknya nampak masih memiliki pengaruh pada jalannya kekuasaan pada pemerintahan kontemporer, terlebih putra kandungnya Gibran menjabat RI.2.
Maka, tentu saja menurut perspektif logika hukum, Jokowi patut diduga justru otak pelaku (doenpleger) atau pembujuk (uilokker) dan secara hukum masih dapat dituntut dalam perkara delik membuat surat keterangan palsu (Pasal 263 KUHP) bukan lagi pasal 244 oleh sebab hanya bentuk surat sekedar keterangan biasa, bukan dalam bentuk akte autentik, dengan catatan hukum andai kelak terkait ijazah palsu (akte authentic) Jo. Pasal 264 dalam praktik hukumnya ditafsirkan tuntutannya telah masuk unsur pasal kadaluwarsa (78 KUHP).
Konklusi hukum, bahwa Jokowi dan siapapun civitas akademik pelaku penyertanya, mau Pratikno eks rektor UGM yang saat ini menjabat menteri di Kabinet Merah Putih (KMP) atau ‘petahana’ rektor UGM Prof Ova Emillia, Dekan Fakultas Kehutanan atau Guru Besar Hukum Pidana UGM. Prof. Markus, atau individu subjek hukum lainnya, harus disertakan sebagai pihak tersangka berdasarkan teori hukum mala in se dan asas Primus interpares seorang jatidiri yang memiliki faktor kelebihan namun tetap equal dimata hukum, yang kesemua prinsip keberlakuan sistim hukum ini bersumber didalam Sistim Konstitusi Dasar NRI (UUD. 1945) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara berdasarkan hukum (rule of law atau rechstaat) bukan kekuasaan belaka (machstaat) dan setiap orang sama dimata (equality before the law).