Penundaan Masa Berlaku Tarif Resiprokal Untuk Memberi Kesempatan Negosiasi Kepada Mitra Dagang AS
JAKARTASATU.COM– Penerapan tarif resiprokal sebesar 32 persen oleh Pemerintah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump membawa tekanan besar terhadap perekonomian Indonesia. Kebijakan ini menurunkan daya saing ekspor Indonesia di pasar AS karena harga barang menjadi lebih mahal.
Akibatnya, permintaan terhadap produk Indonesia, khususnya dari sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur, diperkirakan bakal melemah. Hal ini berpotensi mengganggu neraca perdagangan nasional.
Dampak baik dan buruk tarif impor kebijakan Trump untuk Indonesia yang sejak diberlakukan 9 April 2025, saat ini ada penundaan.
“Untuk sementara ini, semua negara dikenakan tarif impor (dasar) sebesar 10 persen. Tarif impor resiprokal yang besarnya berbeda-beda untuk setiap negara ditunda maka berlakunya selama 90 hari,” kata Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan, Sabtu (12/4/2025).
“Dengan tingkat tarif impor yang besarnya sama untuk setiap negara, untuk semua produk, maka tidak ada dampak sama sekali terhadap persaingan usaha antar negara,” sambung Anthony.
Namun sebaliknya, pengenaan tarif impor dasar ini harus ditanggung importir dan konsumen dalam negeri Amerika yakni harga produk akan menjadi lebih mahal, memicu inflasi.
“Salah satu tujuan utama mengenakan tarif impor seharusnya untuk melindungi produk (industri) dalam negeri dari produk asing, khususnya akibat praktek persaingan yang tidak sehat (tidak fair). Misalnya, negara asing memberi subsidi terselubung kepada produk atau industri tertentu, atau melakukan ‘manipulasi’ nilai tukar,” tutur Anthony.
Anthony sebutkan beberapa produk Indonesia yang tidak akan ada persaingan dengan Amerika
“Beberapa produk tertentu yang diimpor dari Indonesia, seperti tekstil, tidak bersaing dengan industri dalam negeri Amerika, karena produk tersebut sudah tidak diproduksi lagi di dalam negeri Amerika, serta tidak ada produk substitusinya,” beber Anthony.
Malah menurut Anthony, instrumen tarif impor yang tujuan awalnya untuk meningkatkan daya saing industri dalam negeri, menjadi tidak berguna, alias mubazir.
“Salah satu tujuan utama dari kebijakan tarif impor Trump adalah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS. Artinya, dengan dikenakannya tarif impor maka diharapkan impor akan berkurang, dan industri dalam negeri bisa bersaing dan bisa bangkit kembali. Ini yang menjadi dasar semboyan “Make America Great Again”: membangkitkan industri dalam negeri,” Anthony menegaskan.
Tetapi, seperti dijelaskan di atas, untuk produk yang tidak diproduksi lagi di dalam negeri Amerika, tarif impor menjadi tidak berguna, dan tidak dapat untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS.
“Penundaan tarif impor Trump hanya berlaku untuk tarif resiprokal di mana Indonesia dikenakan 32 persen, selama 90 hari,” jelas Anthony.
Anthony menilai penundaan tarif diberlakukan Trump bertujuan beri peluang negosiasi terhadap negara-negara mitra dagang Amerika.
“Penundaan masa berlaku tarif resiprokal tersebut untuk memberi kesempatan kepada setiap negara agar bisa melakukan negosiasi dan kompromi, dengan sasaran agar defisit neraca perdagangan antar Amerika dan negara mitra dagang dapat diperbaiki (dikurangi), “.Anthony menandaskan. (Yoss)