Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW

Menggoreng Skandal Seks Pejabat dan Ijazah Palsu, Kenapa Tidak KISS Aja!

Oleh Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Jika hari ini kita merasa menjalani hidup yang terlalu mudah dan tenang, mungkin kita salah. Pasalnya kita hidup di republik yang sangat peduli pada complexity. Dimana Sebagian besar kita adalah bangsa yang memegang teguh prinsip, “Kalau bisa dibikin susah, kenapa harus gampang”? Bahkan masalah sepele pun akan dianalisis sampai seakan-akan bisa tuntas—dengan puluhan pakar, puluhan talkshow, dan puluhan episode debat tak berkesudahan. Selamat datang di era post-akal sehat.
Dulu ada nasihat manajemen yang sangat unik, KISS – Keep It Simple, Stupid. Tapi kini, di republik para intelektual dadakan ini, KISS bukan lagi prinsip manajemen—melainkan semacam kutukan, seperti “nasi anget ketumpahan kuah indomie tapi malah dibuang.”
Kok bisa begitu? Biar lebih gamblang, mungkin kita bisa mencoba menelusuri kasus paling fenomenal yang tengah menjadi sorotan ramai saat ini, tuduhan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Secara bodoh-bodohan (dan ini bukan ejekan, tapi gaya berpikir paling sehat dalam situasi penuh kegilaan), bukankah sebenarnya kasus ini sangat bisa dibuat simpel? Jika ijazah dituduh palsu ya tinggal tunjukkan saja yang aslinya. Selesai.
Namun, alih-alih memilih jalur lurus dan logis, kita justru memasuki labirin para pakar seperti pakar gestur, pakar mikro-ekspresi, pakar pencitraan, bahkan pakar kriminolog, pakar psikologi massa, pakar IT, pakar pendidikan dan beragam pakar-pakar lainnya. Tiba-tiba masalah ijazah disulap menjadi battle royale epistemologis. Begitu fenomenalnya kasus ini sampai-sampai Foucault pun mungkin jika bangkit dari kuburnya akan bergumam, “Aku tidak pernah membayangkan kekuasaan wacana bisa seaneh ini.”
Akademisi Harvard, Prof. Roger Silverstone, dalam Media and Morality, mengatakan bahwa ketika teknologi komunikasi mengambil alih ruang publik, maka moralitas bisa tergantikan oleh spectacle. Maka jadilah kasus seperti ijazah palsu tersebut bukan lagi sekedar soal dokumen, melainkan menjelma sebagai soal drama politik harian dengan rating tinggi.
Kasus DNA: Drama vs Logika
Pun dengan contoh kasus lainnya, dugaan perselingkuhan mantan gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (RK), dengan artis Lisa Mariana yang katanya sampai punya anak. Lagi-lagi, masalah biologis yang semestinya bisa diselesaikan dengan satu swab di laboratorium, harus diselesaikan lewat swab opini di infotainment.
Sungguh ironis. Dalam dunia komunikasi, kasus ini disebut Noise Theory oleh Claude Shannon. Ketika dalam sistem komunikasi, terdapat terlalu banyak gangguan (noise) maka hal itu membuat pesan tak sampai ke tujuan. Tapi lucunya di sini, kita justru menikmati noise-nya. Mungkinkan kita memang tidak menginginkan kebenaran, tapi kita ingin cliffhanger.
Ahli komunikasi politik dari Yale, Prof. Susan R. Tyler, pernah mengatakan, “Dalam sistem demokrasi yang rapuh, terkadang yang dibutuhkan bukanlah jawaban, tapi keterlibatan.” Maka jangan heran, semua orang ingin terlibat. Ada tukang mie ayam, selebgram, pakar analisis bibir, tukang sulap, buzzer, seksolog hingga praktisi AI yang diajak ngobrol sambil rebahan.
Dan mungkin memang di sinilah paradoks terbesar kita, semakin banyak pakar, semakin tidak pernah selesai masalahna. Karena yang dilombakan bukan solusi, tapi siapa paling viral. Aristoteles berujar, “The more you know, the more you realize you don’t know.” Di Indonesia, kita bisa menambahkan, “The more you viral, the less people ask for logic.”
NASA vs Rusia, Sabun vs Angin
Di luar kasus-kasus yang oleh Gen-Z disebut diluar nurul di atas, mari kita segarkan nalar dengan dua studi klasik kasus KISS yang seharusnya diajarkan di setiap rapat cabinet pemerintahan kita.
Misalnya kasus NASA yang menghabiskan hingga $12 juta untuk penelitian guna membuat pena anti-gravitasi. Tapi dengan sangat sederhana Rusia memilih menggunakan pensil sebagai solusinya.
Pun dengan kasus sebuah perusahaan kosmetik di Jepang yang terpaksa memboroskan anggarannya untuk membeli mesin X-ray untuk mendeteksi kecolongan adanya kotak sabun kosong yang terselip di rel pengemasan di pabriknya. Namun sebuah perusahaan kecil cukup menggunakan kipas angin sebagai solusi yang efektif dan murah dalam menangani masalah tersebut.
Moral dari dua cerita mengenai solusi sederhana dalam menghadapi permasalahan di atas adalah berpikirlah seperti orang normal, bukan seperti produser reality show. Karena kadang solusi itu tak butuh seminar, cukup pakai akal sehat dan angin sepoi-sepoi.
Namun apa boleh buat, memang begitulah kenyataannya di sini, misalnya dalam kasus birokrasi berbelit. Maka diciptakanlah solusi penggunaan formulir online agar proses administrasi bisa berjalan lebih cepat. Namun kenyataan aplikasi di lapangan, kita tetap disuruh datang untuk tanda tangan basah, cap basah, foto sambil megang KTP dan berdiri di depan poster “Kami Melayani”.
Mari KISS Bersama
Mengutip kata-kata satir dari Winston Churchill, “Men stumble over the truth from time to time, but most pick themselves up and hurry off as if nothing happened.”
Kita harus belajar mencium kesederhanaan. Menyambut KISS. Mari kita hentikan budaya “Mengatasi Masalah dengan Masalah”. Karena di zaman AI, drone, blockchain, dan otak manusia yang kian dikuasai algoritma, barangkali satu-satunya teknologi yang benar-benar kita butuhkan adalah logika warung kopi.
Atau, seperti kata Paulo Coelho, “It’s the simple things in life that are the most extraordinary.”
Tapi ya, di sini, yang sederhana itu haram. Yang rumit, itu glamor. Jadi jangan berharap solusi dari negeri di mana setiap masalah harus dibahas lewat zoom meeting tiga layer, dengan notulen, dan after-party.
Mungkin di sini KISS, Keep It Simple Stupid itu cuma utopia. Karena sepertinya di negeri Konoha ini, semakin bodoh masalahnya, semakin pintar cara menyelesaikannya. Dengan satu syarat, jangan pernah diselesaikan. Tabik.