Caving goa barat ©️ Hudi wasono
Caving goa barat ©️ Hudi wasono
JAKARTASATU.COM – Di bawah langit Paris, 17 April 2025, sebuah pengakuan dunia kembali datang untuk bumi pertiwi. Tak ada kembang api, tak ada parade megah. Hanya sidang Dewan Eksekutif UNESCO yang dengan suara bulat menyetujui: dua titik di Indonesia—Kebumen dan Meratus—resmi bergabung dalam jaringan elit UNESCO Global Geoparks, bersama 14 geopark lainnya dari berbagai penjuru dunia.
Namun ini bukan sekadar pengakuan. Ini adalah seruan lembut dari bumi—lewat fosil, bebatuan, dan aliran sungai purba—bahwa warisan geologi bukan hanya untuk dipelajari, tapi untuk dijaga, diwariskan, dan menjadi pandu dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Audrey Azoulay, Direktur Jenderal UNESCO, menyebut geopark sebagai “mercusuar pembangunan berkelanjutan”. Di tengah krisis iklim dan ketimpangan sosial, geopark hadir bukan sebagai objek wisata semata, melainkan sebagai ruang belajar bersama antara manusia dan alam. Sebuah panggung tempat budaya, pendidikan, konservasi, dan ekonomi berjalan seiring.
Kebumen: Saat Lempeng Samudra dan Budaya Berpadu
Di sudut selatan Pulau Jawa, Geopark Kebumen menyimpan kisah bumi yang telah berlangsung jutaan tahun—kisah lempeng samudra yang terangkat ke darat, menjadi saksi bisu dari teori tektonik yang dahulu hanya menjadi hipotesis di ruang kuliah. Di Karangsambung, batuan dari dasar laut purba kini menjadi laboratorium alam terbuka, mengajarkan kepada siapa pun yang sudi menengok bahwa geologi bukanlah urusan para ilmuwan saja, tapi cerita tentang siapa kita dan dari mana kita berasal.
Namun kekayaan Kebumen tak berhenti pada batu. Penyu-penyu yang kini bertelur dengan aman di pantai Jogosimo adalah bukti bahwa konservasi bisa menjadi gerakan bersama. Di balik pasir yang lembut, ada upaya keras memindahkan telur-telur kecil dari tangan pemburu menuju tempat aman.
Dan di desa-desa seperti Wonorejo dan Grenggeng, daun pandan dianyam menjadi harapan. Dari tangan para ibu, dari semangat para pelajar, lahirlah tas, sandal, dan kebanggaan akan kearifan lokal yang tetap bertahan di era digital—didukung oleh anak muda dan forum inovatif yang menjembatani pasar tradisional ke ranah daring.
Pasar Terapung
Pasar Terapung
Meratus: Di Antara Anggrek, Bekantan, dan Jejak Tektonik Jurassic
Berlayar ke Kalimantan Selatan, Geopark Meratus menuturkan kisah yang tak kalah agung. Di balik pegunungan tua itu, tersembunyi ofiolit—batuan dari kerak samudra yang terangkat—menjadi saksi evolusi tektonik sejak zaman Jurassic. Di antara belantara, tumbuh anggrek bulan dan anggrek tebu, mekar dalam diam, menyimpan estetika tropis yang tak bisa dipalsukan.
Dan lihatlah si bekantan, monyet berhidung panjang yang dahulu nyaris punah, kini menjelma jadi maskot Kalimantan Selatan. Ekosistem bakau yang pulih menjadi tempat mereka berlompatan lagi, seolah alam menyapa: “Kami masih di sini, selama kau mau menjaga.”
Di sungai Lok Baintan, perahu jukung para pedagang terapung berkeliling membawa bukan hanya buah dan sayur, tapi juga warisan nenek moyang yang masih hidup. Di gunung, bambu digunakan untuk mengangkut hasil hutan lewat metode tradisional Balanting Paring, dan di tangan masyarakat Banjar, kain Sasirangan dengan motif sarat makna terus diwariskan sejak 1335.
Meratus bukan sekadar bentang alam, ia adalah ruang hidup. Tempat festival budaya digelar, tempat pelari menaklukkan alam lewat Meratus Geopark Run, dan tempat nilai-nilai lokal menjadi kekuatan global.
Warisan Geologi, Jalan Masa Depan
Dua titik baru di peta dunia bukan sekadar angka dalam statistik geopark yang kini mencapai 229 di 50 negara. Kebumen dan Meratus adalah tanda bahwa Indonesia tak hanya kaya, tapi juga mampu menjaga kekayaannya. Bahwa pembangunan tak harus menebang, tapi bisa menanam—pengetahuan, budaya, dan harapan.
UNESCO menyerukan dunia untuk lebih banyak membangun geopark, khususnya di kawasan Afrika, negara-negara Arab, dan negara berkembang pulau kecil. Bukan untuk sekadar menyamakan jumlah, tapi untuk memastikan bahwa setiap cerita bumi, sekecil apapun, punya panggung yang layak.
Dan hari ini, Kebumen dan Meratus naik ke panggung dunia—mewakili Indonesia, mewakili bumi yang tak pernah lelah berbicara. Sudahkah kita mendengarnya? |WAW-JAKSAT