Gedung PP Muhammadiyah | IST
Gedung PP Muhammadiyah | IST

JAKARTASATU.COM– Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wahid menanggapi salawat disertai joget-joget yang viral di media sosial belakangan ini. Tanggapan Wawan disampaikan saat Pengajian Tarjih, Rabu (16/4/2025).

Dalam pengajian tersebut, Ajengan Wawan menegaskan bahwa shalawat adalah ibadah yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Ia mengutip Al-Qur’an, Surah Al-Ahzab ayat 56:إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِىِّ ۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيْهِ وَسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam kepadanya.”

Dalam hadis Rasulullah SAW juga disebutkan:

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا

“Barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.”

Kedua dalil ini menjadi landasan bahwa shalawat adalah amalan mulia yang dianjurkan secara mutlak. Ajengan Wawan berbagi pengalaman pribadinya, mengaku sering terbawa suasana saat mendengar lantunan shalawat.

“Sekarang kita melihat musikalisasi shalawat, bahkan ‘pabrikasi’ shalawat yang begitu masif. Saya tak bisa menahan hati untuk tidak ikut melantun. Kadang, shalawat itu membawa rindu kepada orang tua, dan yang paling utama, rindu kepada Rasulullah SAW,” ungkapnya dikutip laman Muhammadiyah.

Ia menyebut bahwa setiap kali membaca shalawat, ingatannya melayang pada kisah hidup Nabi dalam Sirah Nabawiyah, sebagaimana ditulis Martin Lings dalam Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources. “Meski Lings seorang mualaf, karyanya yang berbasis sumber otentik bisa membuat kita menangis,” tambahnya.

Namun, ketika shalawat dikemas dengan musik atau bahkan tarian, apakah itu masih dibenarkan? Menurut Ajengan Wawan, hal ini boleh selama tidak melenceng dari tujuan ibadah.

“Shalawat adalah diksi dan narasi yang dipilih Allah dan Rasul-Nya, lalu dikembangkan secara kreatif oleh para ulama melalui lagu dan puji-pujian. Jika musik itu menghadirkan kekhusyukan kepada Allah, mendekatkan kita kepada Rasulullah, dan menjauhkan dari dosa, maka itu dianjurkan,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa Rasulullah sendiri pernah mengizinkan penggunaan musik dalam konteks tertentu, seperti saat perayaan atau pengiring kegiatan yang tidak bertentangan dengan syariat. Namun, ia juga mengingatkan agar tidak terjebak dalam tindakan berlebihan.

“Jika shalawat disertai tindakan fujur atau melanggar syariat, seperti ikhtilath (campur baur tanpa batas) atau joget-joget yang tidak pantas, itu tidak boleh. Niat memuji Rasulullah harus selaras dengan aura Al-Qur’an dan Sunnah,” jelasnya.

Ia mencontohkan konsep sadd adz-dzari’ah (menutup celah keburukan), yang dapat digunakan untuk melarang joget-joget jika berpotensi menimbulkan pelanggaran syariat. “Hukum asal shalawat adalah boleh, tapi bisa menjadi tidak boleh jika disertai unsur tercela,” tambahnya.

Ajengan Wawan juga membandingkan polemik ini dengan kasus ziarah kubur. “Ziarah kubur hukum asalnya boleh, tapi jika mengundang syirik atau bid’ah, maka menjadi tidak boleh. Begitu pula dengan shalawat. Jangan katakan Muhammadiyah melarang shalawat—tidak! Kami hanya menekankan agar sesuai syariat,” ujarnya.

Kontroversi shalawat sambil joget-joget ini mencerminkan dinamika umat Islam dalam menyikapi inovasi keagamaan. Di satu sisi, kreativitas dalam dakwah diperlukan untuk menjangkau generasi baru. Di sisi lain, batas-batas syariat harus dijaga agar ibadah tetap suci.

Seperti kata Ajengan Wawan, yang harus menempatkan persoalan ini dengan seksama, agar shalawat tetap menjadi jalan cinta kepada Rasulullah, bukan jalan yang menjauhkan umatnya dari ajaran Islam. (RIS)