Semua Dipalsukan Agar Semua Jadi Benar (Teater Kekuasaan #1)
“Semua dipalsukan agar semua jadi benar.” Kalimat ini tidak tertulis dalam kitab Machiavelli atau pidato politik siapa pun. Tapi kenyataannya, kalimat ini hidup saat ini.
Menjelma dalam keputusan rapat-rapat gelap, dalam konferensi pers yang penuh basa-basi, hingga dalam naskah undang-undang yang katanya untuk rakyat, tapi isinya hanya untuk segelintir. Hari ini kita tak butuh lagi kebenaran, cukup narasi. Ngerikan?
Tak penting fakta, cukup framing. Jika satu kepalsuan dianggap benar oleh televisi, influencer, dan lembaga yang pegang ketuk palu, maka rakyat pun ikut mengangguk, entah karena takut atau karena lelah berpikir.
Inilah negeri yang yang seolah dibangun dari tipu daya yang dilegalkan. Jika Machiavelli mewariskan seni kelicikan untuk kekuasaan, kita kini punya versi baru: Mereka bukan hanya Demagog atau Demagogue atau perusuh yang istilah yang digunakan oleh beberapa orang Athena dalam menunjuk politikus yang muncul di kota itu setelah kematian Perikles. Perikles seorang negarawan Yunani yang paling terkenal dan berpengaruh, ia orator dan Jendral Athena selama Zaman Keemasan Athena, era antara Perang Persia dan Peloponnesos. Pericles memiliki pengaruh yang mendalam terhadap masyarakat Athena. Oleh Thukydides, sejarawan sezamannya, Perikles dijuluki “warga Athena pertama.”
Saat ini kita belihat banyak yang menjadi “rada mirip” dalam begal kesadaran, mencuri akal sehat lewat pidato, meme, dan bahkan rancangan undang-undang. Mereka meracuni pikiran publik dengan retorika beracun yang dibungkus jargon nasionalisme palsu. Absurd…!!!
AKAL BULUS SCAPIN
Saya jadi ingat sebuah drama “Akal Bulus Scapin karya Jean Baptiste Poquelin ‘Moliere’ yang di Indonesia drama ini diterjemahkan Asrul Sani. Dalam peran tokoh Scapin di naskah Akal Bulus Scapin, merupakan perancangan akting komedi Farce. Bentuk akting komedi ini memfokuskan pencarian bentuk-bentuk ekspresi yang karikatural. Komedi Farce adalah sebuah pertunjukan yang sengaja dibuat-buat untuk menghasilkan kelucuan. Oleh karena itu dalam menciptakan tokoh Scapin dengan akting komedi Farce, aktor menciptakan gestur lucu yang komikal, permainan yang spontan, menciptakan tone vokal yang spesifik, gerakan-gerakan yang ganjil, dan kejutan-kejutan. Pemeranan tokoh Scapin ini adalah agar –khususnya pelaku seni peran– agar dapat menemukan dan mengetahui cara bermain akting komedi pada tokoh Scapin dalam naskah Akal Bulus Scapin dengan pilihan permainan gaya akting komedi Farce.
Muncullah para Scapin—seperti dalam lakon Molière—si pelayan licik yang tahu segalanya dan mengatur segalanya. Di negeri ini, Scapin bisa menjelma jadi konsultan politik, pemilik agensi digital, bahkan juru bicara pemerintah.
Mereka tersenyum di depan kamera, tapi menusuk logika di belakang layar. Apa yang kita tonton hari ini bukan lagi realitas, tapi pentas. Negara ini panggung sandiwara besar, dengan aktor-aktor penuh improvisasi, naskah yang berubah tiap hari, dan penonton yang tak pernah diberi pilihan selain tepuk tangan atau diam. Ironisnya, kita sudah terbiasa.
Absurd? Tentu. Tapi di republik ini, absurditas telah menjadi sistem. Kita menertawakan kebohongan seperti sedang menikmati komedi, padahal kita sedang digiring menuju tragedi. Dalam pentas kekuasaan ini, rakyat hanya figuran. Dan figuran tak pernah punya suara. Selain dimnafaatkan untuk pesta tahunan pemilu.
Maka pertanyaannya sederhana: Apakah kita akan terus menjadi penonton di teater kekuasaan ini, atau mulai naik ke panggung, atau merebut naskah, dan menulis ulang cerita kekuasaan?
*) Aendra MEDITA, pernah kuliah di Teater dan kini jurnalis dan juga kerja sebagia analis di PKKPI (Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia) Jakarta