JAKARTASATU.COM – Pada suatu pagi di akhir tahun, ketika sinyal 5G makin deras mengalir dari menara-menara BTS ke genggaman jutaan tangan, ekonomi digital Indonesia terus menulis kisahnya sendiri—sebuah saga yang berlapis-lapis antara harapan dan tantangan.
Di antara lalu lintas data dan paket yang melesat dari satu dashboard ke dashboard lainnya, Center of Economic and Law Studies (Celios) merilis Outlook Ekonomi Digital 2025. Sebuah potret menyeluruh: dari dapur e-commerce, taksi daring, dompet digital, hingga debu-debu pinjaman daring yang perlahan menumpuk di bawah karpet utang generasi muda.
Ketika Klik Mengalahkan Jalanan
Mari mulai dari sana: perdagangan daring. Di tengah gemuruh algoritma dan potongan harga, GMV (Gross Merchandise Value) sektor ini diprediksi mencapai Rp471 triliun pada 2025. Namun di balik angkanya yang terus membubung, ada catatan kecil: pertumbuhannya kian melambat. Daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya dan biaya admin yang dibebankan ke konsumen, menekan napas belanja digital.
Tetapi angka tetap bicara: 70 persen ekonomi digital Indonesia ditopang sektor ini. UMKM, sang punggung ekonomi, mendulang peluang baru menembus batas pasar geografis. Namun mereka pun harus belajar menari bersama algoritma.
Transportasi Online: Dari Mandek ke Momentum
Saat pandemi mencekik mobilitas, pendapatan transportasi daring sempat terpuruk ke angka Rp8,73 triliun pada 2020. Tapi seperti roda yang berputar, tahun 2025 memproyeksikan angka Rp12,66 triliun—rebound yang mengindikasikan masyarakat telah kembali nyaman berbagi kendaraan dalam genggaman.
Di balik lonjakan itu, ada cerita kurir dan pengemudi. Mitra Shopee Express misalnya, bisa membawa 80 paket sehari demi insentif Rp2.213 per paket—jumlah yang bahkan belum menyentuh UMP DKI Jakarta. Mereka yang menggerakkan ekonomi digital dengan punggung dan waktu, masih sering terpinggirkan dari perlindungan sosial.
Dompet Digital dan Daya Beli
Uang digital kini bukan soal pilihan, tapi keniscayaan. Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 7 jam 38 menit per hari di dunia maya. E-money, mobile banking, dan internet banking tumbuh signifikan, menjadi tumpuan transaksi harian: dari kopi pagi, ongkos ojek, hingga cicilan ponsel.
Namun ironi datang bersama kenyamanan. Riset menunjukkan, generasi muda—Gen Z dan Milenial—tak hanya yang paling melek digital, tetapi juga paling rawan terlilit utang. Pinjaman daring berkembang pesat, tapi lebih banyak mengalir ke sektor konsumtif ketimbang produktif. Pada 2024, hanya 29 persen dari pinjaman P2P lending yang digunakan untuk hal produktif.
Arah Regulasi dan Risiko
Regulasi bukan lagi pilihan, tapi pagar. Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) adalah satu langkah maju, namun laporan menunjukkan 28,7 persen masyarakat Indonesia pernah mengalami penyalahgunaan data. Bahkan Pusat Data Nasional Sementara pun tak luput dari kebocoran pada 2024.
Sementara itu, kebijakan bunga pinjaman daring yang dibatasi 0,1–0,3 persen per hari oleh OJK adalah ikhtiar membendung jerat utang. Tapi rendahnya literasi keuangan masih jadi lubang besar yang membuat banyak pengguna P2P lending, khususnya anak muda, jatuh dalam siklus utang.
Optimisme yang Membutuhkan Realisme
Secara keseluruhan, ekonomi digital Indonesia pada 2025 diproyeksikan terus tumbuh. Tapi laporan Celios tak menyembunyikan luka dan ketimpangan di dalamnya: ketimpangan akses digital desa-kota, kesejahteraan pekerja logistik yang timpang, dan pertumbuhan yang tak selalu merata.
Namun di balik itu, ada harapan: bahwa transformasi digital bisa menjadi sarana bukan hanya mempercepat transaksi, tetapi memperdalam keadilan. Bahwa bukan hanya unicorn yang bisa tumbuh, tapi juga warung, kios kecil, dan pengusaha mikro di desa.
Maka Pertanyaannya Bukan Lagi “Apakah Kita Akan Go Digital?”
Melainkan: “Untuk siapa digitalisasi ini dibangun?”
Jika jawabannya masih belum mencakup yang kecil, yang jauh, dan yang bekerja dalam senyap—maka mungkin, peta masa depan ini butuh digambar ulang. Tidak dengan chatbot, tapi dengan keberpihakan.
Inilah wajah ekonomi digital kita. Bukan sekadar angka-angka yang berlari, tapi denyut kehidupan yang menggantung pada sinyal, kuota, dan kebijakan. Apakah kita siap? |WAW-JAKSAT