Dokumen "2025 National Trade Estimate Report" dari USTR
Dokumen "2025 National Trade Estimate Report" dari USTR

JAKARTASATU.COM – Di tengah hingar-bingar pasar global karena kebijakan tarif resiprokal Trump, satu dokumen sunyi mendesak untuk dibaca yaitu dokumen “2025 National Trade Estimate Report” dari USTR. Dokumen ini bukan novel, bukan pula puisi. Tapi isinya bisa bikin kening pejabat berkerut dan investor luar negeri memijat pelipis.

Sebab di dalamnya, Indonesia-—yang digadang-gadang sebagai emerging giant Asia Tenggara—-disebut, dikritik, dan disorot. Bukan karena kekayaan sumber dayanya, atau karena bonus demografinya yang jadi bahan seminar motivasi. Tapi karena satu hal yang krusial yaitu: susah ditembus.

Terlalu Banyak Pintu Terkunci

Menurut Andriyanto, penasihat berjangka bersertifikat yang telah menelusuri pasar kripto sejak 2019, laporan USTR ini hanyalah bagian dari catatan panjang. “Amerika sudah lama merasa Indonesia ini seperti rumah besar yang menyambut semua tamu, tapi kuncinya disimpan di 17 tempat berbeda,” ujarnya, sambil tertawa getir.

Pernyataan itu tentu ada benarnya. Dalam laporan resmi tersebut, Indonesia dianggap memiliki hambatan yang signifikan terhadap ekspor, investasi, dan ekspansi digital dari perusahaan-perusahaan Amerika Serikat. Masalahnya bukan cuma satu, tapi berlapis.

Berikut ini beberapa “PR besar” yang disampaikan AS terkait Indonesia:

1. Import Policies: Ribet, Lama, dan Kadang Berubah-ubah
Masuknya barang asing ke Indonesia disebut bak perjalanan spiritual—banyak rintangan, penuh ujian. Prosedur perizinan yang panjang, keharusan kandungan lokal, hingga regulasi yang kerap berubah-ubah jadi sorotan. “Ketidakpastian kebijakan membuat biaya masuk barang jadi mahal dan kompetitifnya hilang,” kata laporan USTR.

2. Pembatasan Kepemilikan Asing: Pasar Ada, Tapi Aksesnya Terbatas. Amerika juga menyoroti pembatasan asing di sektor e-commerce, ritel, dan telekomunikasi. Kepemilikan maksimal hanya 49%—dan itu dianggap menghambat investor yang ingin kontrol penuh atas bisnisnya. Di balik kebijakan ini ada kekhawatiran yang sah: perlindungan terhadap pelaku lokal. Tapi di mata investor, ini seperti undangan yang datang tanpa peta lokasi.

3. Data Lokal: Digital Nasionalisme yang Dikhawatirkan
Indonesia mewajibkan data pengguna disimpan di dalam negeri. Buat Amerika, ini bukan cuma soal tempat penyimpanan. Tapi soal biaya, efisiensi, dan keamanan. “Kebijakan ini terlalu protektif dan bisa membebani startup asing,” demikian tertulis dalam laporan. Padahal di sisi lain, Indonesia sedang memperkuat kedaulatan data. Sebuah langkah strategis, tapi masih butuh narasi yang bisa diterima global.

4. Hak Kekayaan Intelektual: Bajakan Masih Merajalela
Software bajakan, musik ilegal, barang KW. AS menyebut Indonesia belum cukup serius melindungi HKI. Sistem hukum kita dinilai lemah—terutama dalam paten farmasi dan bioteknologi.Isu ini sensitif. Tapi di era AI dan inovasi, perlindungan HKI adalah mata uang kepercayaan. Dan kita belum cukup kuat menukarnya.

5. Tender Pemerintah: Nasionalisme Ekonomi atau Diskriminasi Terselubung? Pengadaan barang dan jasa pemerintah dinilai lebih condong ke vendor lokal. Kurang transparan, dan membuat perusahaan asing kesulitan masuk tender. Padahal transparansi bukan soal membuka semuanya, tapi memperjelas permainannya.

6. Bioteknologi dan GMO: Ketakutan, Bukan Teknologi yang Disalahkan. Produk pertanian rekayasa genetik (GMO) asal AS masih sulit menembus pasar Indonesia. Persyaratannya panjang, tidak jelas, dan—menurut laporan—terkadang terlalu subjektif. Di sinilah ketegangan terjadi: antara kehati-hatian atas pangan dan dorongan pada inovasi agrikultur modern.

Indonesia: Raksasa yang Masih Belajar Menjadi Tuan Rumah Global

Laporan USTR 2025 bukan kutukan. Tapi cermin. Kita bisa saja marah, defensif, atau menyebut ini sebagai bentuk imperialisme dagang gaya baru. Tapi mungkin, ini saatnya kita lontarkan beberapa pertanyaan berikut:

“Apakah kita sudah cukup ramah bagi investor tanpa mengorbankan kedaulatan?”

“Apakah kita bisa menciptakan proteksi yang cerdas, bukan hanya birokrasi yang rumit?”

“Apakah ekonomi kita ingin tumbuh inklusif atau eksklusif dalam ketakutan?”

Andriyanto menyebut Indonesia sebagai “pasar emas yang belum diasah.” Ia percaya, dengan reformasi regulasi yang cermat, Indonesia bukan hanya akan menjadi pasar yang menarik, tapi pemain utama dalam lanskap dagang dunia.

“Masalah kita bukan pada potensi. Tapi pada kejelasan jalan menuju potensi itu,” katanya.

Ubah PR Menjadi Peluang

Dalam dunia bisnis global, tidak ada yang abadi—termasuk posisi kita di mata negara lain. Apa yang hari ini disebut ‘hambatan’ bisa jadi ‘nilai jual’ besok, asal diolah dengan strategi dan visi jangka panjang. USTR boleh menulis laporan. Tapi kita yang menulis masa depan.|WAW-JAKSAT

Dokumen “2025 National Trade Estimate Report” dari USTR