
JAKARTASATU.COM – Di tengah gemuruh perang dagang global dan retorika proteksionisme yang menggema dari Gedung Putih, ada dua nama Indonesia yang tiba-tiba mencuat di radar Washington DC: Pasar Mangga Dua dan Undang-Undang Cipta Kerja. Dua entitas yang sejatinya lahir dari denyut ekonomi domestik, kini terlempar ke arena dagang internasional sebagai “trade barriers” versi Amerika Serikat.
Dalam laporan resmi 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis oleh Office of the United States Trade Representative (USTR), Pasar Mangga Dua disebutkan secara eksplisit sebagai “lokasi prioritas” yang menghambat perlindungan Kekayaan Intelektual (KI) — satu dari sekian isu dagang yang dijadikan dasar tarif balasan, atau yang dalam era Trump dikenal dengan istilah “reciprocal tariffs”.
Di Balik Gemerlap Mangga Dua: Pasar Rakyat atau Sarang Barang Bajakan?
Di atas permukaan, Pasar Mangga Dua adalah surga belanja yang menjual dari ponsel hingga jam tangan bermerek, tempat di mana harga bisa ditawar dan barang “mirip-mirip asli” seringkali menjadi daya tarik utama. Tapi di mata USTR, tempat ini adalah contoh nyata lemahnya penegakan hukum kekayaan intelektual di Indonesia.
Meski pemerintah Indonesia telah memperkuat kerangka hukum HKI dan membentuk gugus tugas khusus, laporan tersebut menilai penegakannya masih setengah hati. Tidak hanya Pasar Mangga Dua, sejumlah platform daring lokal juga menjadi sorotan, dituding sebagai pusat distribusi produk bajakan yang merugikan pelaku usaha AS.
“Ini bukan sekadar soal jam tangan atau tas bermerek, tapi tentang bagaimana negara memperlakukan komitmen hukumnya,” demikian dikutip dari bagian laporan USTR.
UU Cipta Kerja: Reformasi yang Malah Membuka Celah?
Tak hanya pasar rakyat, kebijakan tingkat negara juga kena sorot. UU Cipta Kerja, yang digadang-gadang sebagai revolusi regulasi Indonesia, malah dianggap membuka celah baru bagi pelanggaran paten. Revisi terhadap UU Paten 2016 — melalui omnibus law tersebut — memperbolehkan pemenuhan paten melalui impor atau lisensi, sesuatu yang dinilai USTR “tidak sesuai dengan semangat perlindungan eksklusivitas paten dalam standar internasional”.
Dengan kata lain, menurut Amerika, jika perusahaan Indonesia bisa memenuhi paten cukup lewat beli lisensi atau impor produk, maka nilai paten sebagai instrumen perlindungan inovasi pun jadi kosong. Dan ini dianggap merugikan pelaku usaha asing, terutama dari AS.
Dari Jakarta ke Washington: Efek Domino Resiprokal?
Bila dua poin ini terdengar kecil dalam konteks diplomasi dagang global, jangan salah. Amerika — dengan rezim dagang pasca-Trump yang masih mewarisi semangat tarif resiprokal — menjadikan hal-hal semacam ini sebagai amunisi. Bukan tidak mungkin, Indonesia akan kembali masuk daftar negara “yang harus dibalas” secara tarif karena dianggap tidak serius dalam menghapus hambatan perdagangan non-tarif.
Apalagi, dalam sistem perdagangan AS, laporan seperti ini menjadi dasar pengambilan kebijakan tarif, preferensi dagang, dan bahkan kelanjutan fasilitas seperti Generalized System of Preferences (GSP) — yang pernah ditangguhkan untuk Indonesia di masa lalu karena isu serupa.
Indonesia perlu upaya serius untuk menangani masalah ini, bukan sekadar respons simbolik semata. Tantangan ke depan bukan hanya menertibkan lapak bajakan atau memperbaiki redaksional UU. Ini soal membangun kredibilitas sistem hukum yang bisa dipercaya mitra dagang, sekaligus menjaga kedaulatan regulasi nasional. Pemerintah Indonesia perlu menjawab kritik ini bukan dengan retorika defensif, tapi dengan bukti nyata: razia yang berkelanjutan, pengadilan yang berpihak pada hak kekayaan intelektual, dan revisi aturan yang menjamin keadilan.
Karena jika tidak, bukan hanya citra Indonesia yang dipertaruhkan — tapi juga masa depan dagang, investasi, dan posisi tawar di mata dunia.
“Kalau Mangga Dua saja bisa bikin Trump naik pitam, bayangkan dampaknya kalau kita tak berbenah dari akarnya.” |WAW-JAKSAT