EDITORIAL Jakartasatu: Matahari Kembar Itu Nyata—Presiden Harus Tunggal, Tak Boleh Berbayang
WAH ada apalagi ini…kunjungan peserta didik Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri Pendidikan Reguler (Dikreg) ke-65 ke kediaman pribadi eks Presiden Joko Widodo di Solo memicu kegaduhan politik dan menyulut perbincangan serius: siapa sebenarnya pemegang otoritas tertinggi saat ini? Kemana Prabowo?
Silaturahmi—begitu alasan yang dikemukakan. Tapi dalam dunia kekuasaan, tidak ada yang benar-benar sekadar basa-basi. Ketika para calon perwira tinggi Polri justru menemui Eks Presiden, yang kini tidak memiliki posisi formal apa pun dalam struktur kenegaraan, publik patut bertanya: atas dasar apa dan untuk kepentingan siapa?
Bukan Sekadar Etika, Ini Soal Loyalitas Negara
Joko Widodo bukan seorang perwira tinggi, bukan bagian dari Polri, dan bukan pula kepala negara saat ini. Maka menjadi tidak wajar jika ia menjadi rujukan atau tempat meminta arahan dari para peserta didik lembaga pendidikan tinggi kepolisian. Di sinilah persoalan etika, simbolik, dan bahkan potensi penyimpangan struktur kenegaraan mulai dipertanyakan.
Pengamat politik Asia Tenggara, Buni Yani, menyebut secara gamblang: “Ini bukti Jokowi memang masih punya jaringan ke birokrasi dan kekuasaan, meskipun secara resmi yang berkuasa adalah Prabowo.” Ia menyebut bahwa Jokowi tengah menciptakan “gerhana”, bayangan kekuasaan yang menutupi cahaya dari matahari baru: Prabowo Subianto.
Model pencitraan ini bukan hal baru. Selama 10 tahun pemerintahannya, Joko Widodo membentuk narasi kuat tentang kedekatan dengan rakyat dan kontrol atas jaringan kekuasaan. Kini, meski tak lagi berkuasa, tampaknya ia masih memainkan kartu pengaruh itu. Dan di sinilah kekhawatiran akan lahirnya “matahari kembar” dalam langit republik ini menjadi nyata.
Kedekatan yang Berlebihan, Saatnya Pemutusan Garis
Fakta lain yang memperkuat sinyal ini adalah sosok Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia dikenal sangat dekat dengan Jokowi sejak lama—dari saat menjabat Kapolres di Solo, kemudian menjadi ajudan Presiden, hingga secara luar biasa cepat dilantik menjadi Kapolri dengan melompati 4–5 angkatan seniornya. Ini bukan hal biasa dalam kultur militer maupun kepolisian.
Tak heran jika muncul tudingan tajam dari berbagai pihak soal “parcok”—partai cokelat—menuding bahwa institusi kepolisian terlalu dekat dengan kekuasaan politik, bahkan menjadi alatnya. Dan kini, Listyo Sigit malah membenarkan semua tudingan itu, dengan menunjukkan bahwa Polri di bawah kepemimpinannya masih menginduk pada Jokowi.
Ini bukan sekadar soal perasaan atau kecurigaan. Ini adalah tentang loyalitas institusi negara. Tidak boleh ada dua arah komando, tidak boleh ada dua pusat orientasi. Negara harus berjalan dengan satu poros kendali.
Prabowo Harus Bertindak—Tegas dan Jelas
Presiden Prabowo Subianto tidak boleh membiarkan bayang-bayang masa lalu membuntuti pemerintahannya. Jika ingin menjadi pemimpin penuh, tanpa hambatan dan tanpa intervensi, maka ia harus secara tegas memotong garis-garis lama. Reshuffle adalah langkah logis dan perlu. Kapolri Listyo Sigit telah menjabat lebih dari empat tahun. Sudah waktunya diganti, demi konsolidasi kekuasaan dan penyegaran arah institusi.
Dalam demokrasi, pemilu adalah mekanisme pengalihan mandat. Ketika mandat telah beralih, maka seluruh jaringan kekuasaan seharusnya tunduk pada pemimpin yang sah. Jika tidak, maka negara ini hanya akan jadi panggung drama kekuasaan, tempat mantan presiden masih memainkan peran sebagai aktor utama.
Publik melihat dengan terang: mantan presiden terlalu aktif cawe-cawe, terlalu jauh ikut campur dalam urusan kekuasaan yang bukan lagi miliknya. Ini bukan tradisi negara demokratis, ini pertanda kegagalan transisi kekuasaan.
Matahari kembar adalah simbol perpecahan. Dan republik tidak boleh hidup di bawah dua cahaya. Presiden harus satu. Bayang-bayang harus ditebas. Arah negara harus tegas. Tabik..!!!
(ed-jaksat)