Selamat Hari Kartini, Naik Transjakarta Gratis, Lalu Apa?”
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Di Hari Kartini ini, perempuan se-Jakarta bisa naik Transjakarta, MRT, dan LRT secara gratis. Sebuah kebijakan yang katanya bentuk “penghargaan.” Yah, minimal, penghargaan ini tidak berupa spanduk berdebu atau seminar bertema emansipasi di gedung ber-AC yang pesertanya mayoritas pria berkemeja batik dan presentasi PowerPoint penuh clip-art. Tapi, mari kita telaah: apakah ini benar-benar bentuk penghormatan terhadap semangat Kartini, atau sekadar tiket gratis menuju romantisme kosong yang disponsori APBD?
“Naik transportasi gratis itu seperti bunga di Hari Valentine. Manis, tapi tidak menyelesaikan isu ketimpangan sistemik,” kata seorang pakar komunikasi politik yang enggan disebutkan namanya, karena takut diminta jadi narasumber tetap.
Apresiasi atau Aspirin Sosial?
Transportasi gratis selama sehari memang bisa membuat hati hangat. Tapi hangatnya seperti termos yang ditaruh di ruang meeting—cepat dingin, cepat dilupakan. Jika ini bentuk apresiasi kepada perempuan, maka izinkan saya bertanya: apakah esoknya mereka kembali ke realitas trotoar yang timpang, halte tanpa penerangan, dan transportasi yang masih kurang ramah untuk ibu hamil, lansia, dan penyandang disabilitas?
Mungkin ini yang dimaksud Slavoj Žižek ketika ia berkata, “Sometimes, doing nothing is the most violent thing to do.” Atau dalam konteks ini: memberikan tiket gratis tanpa membenahi sistem yang lebih besar adalah bentuk kekerasan simbolik yang dibungkus pita pink dan ucapan “Selamat Hari Kartini.”

Ibu Kartini, Kalau Masih Hidup, Mungkin Pingsan
Mari kita berandai. Andaikan Ibu Kartini hidup hari ini dan membaca berita bahwa perjuangannya dibalas dengan “gate khusus perempuan” di halte Dukuh Atas, mungkin beliau akan terdiam lama sambil membatin, “Itukah buah dari surat-suratku kepada Stella?”
Kartini pernah menulis: “Habis gelap terbitlah terang.” Tapi di Jakarta, sepertinya maknanya menjadi: “Habis Hari Kartini, kembali bayar ongkos seperti biasa.”
Logika Pencitraan: Gratis Sehari, Lupa Setahun
Kebijakan ini bukan tanpa logika. Ini smart move, kata para konsultan citra. Perempuan senang, media dapat bahan, politisi dapat sorotan. Semua untung, kecuali jika kita bicara sustainability. Bayangkan bila seseorang datang padamu setiap tahun hanya untuk memberi bunga pada hari ulang tahunmu, tapi lupa namamu di sisa hari lain. Itulah rasanya jadi perempuan pengguna transportasi umum hari ini.
Dalam teori komunikasi simbolik Harold Lasswell, ada lima pertanyaan kunci, “Who says what, in which channel, to whom, with what effect?” Dan dalam kasus ini, jawabannya,
“Politisi bilang gratis, via media massa, ke perempuan Jakarta, efeknya? Viral sebentar lalu hilang dalam debu TikTok.”
Apakah ada manfaat dari program ini? Tentu ada. Setidaknya hari itu, dompet perempuan Jakarta lebih ringan. Tapi manfaat itu bersifat kosmetik, seperti bedak di wajah kota yang masih kurang inklusif.
Jika mau serius, jadikan kebijakan ini pemicu. Evaluasi aksesibilitas transportasi bagi perempuan secara menyeluruh. Adakah tempat duduk khusus aman di malam hari? Adakah SOP perlindungan bagi perempuan dari pelecehan di kendaraan umum? Jika jawabannya “tidak tahu” atau “belum,” maka transportasi gratis ini hanyalah gimmick berlatar feminisme palsu.
“Apresiasi sejati bukanlah seremonial, tapi sistem yang memihak,” ujar Bu Susi, penjual pecel lele di Kalideres yang sudah lebih bijak dari sebagian besar anggota legislatif.
