Dr.Harli Siregar SH.,M.Hum
Dr.Harli Siregar SH.,M.Hum

Saat Kata-Kata Tak Lagi Netral dan Layar Kaca Kehilangan Cerminannya

JAKARTASATU.COM – Ada harga untuk segalanya. Bahkan untuk opini publik, narasi di televisi, dan berita yang seharusnya menggugah nurani.
Senin, 21 April 2025, di tengah riuhnya Jakarta yang nyaris tak pernah tidur, Tim Penyidik dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM PIDSUS) Kejaksaan Agung mengetuk pintu kenyataan dengan penyitaan senilai lebih dari dua miliar rupiah. Namun bukan uang tunai yang mereka cari. Mereka menggenggam dokumen, invoice, dan rekam jejak digital—bukti dari sebuah skema yang menyulap hukum menjadi panggung pertunjukan opini.
Bayangkan, bagaimana selembar tagihan sebesar Rp153.500.000 dapat melahirkan 57 judul berita dalam satu bulan: tentang alasan kasus gula tak berlanjut, tentang tokoh-tokoh yang dibingkai dengan presisi naratif, tentang opini yang bukan lagi milik publik, melainkan pesanan.
Tersangka MS, seorang advokat, tak lagi hanya bicara di ruang sidang. Bersama Tersangka JS, dosen sekaligus rekan seprofesi, dan Tersangka TB, Direktur Pemberitaan JAK TV, mereka dituding menyusun satu orkestrasi besar—mengubah realitas menjadi wacana. Bukan untuk keadilan, tetapi untuk mempengaruhi jalannya penegakan hukum.
IST
IST
Mereka mengatur pemberitaan di media mainstream. Mereka membiayai demonstrasi, menyelenggarakan seminar, podcast, bahkan talkshow di kampus-kampus. Semua untuk satu misi: membentuk opini publik bahwa Kejaksaan keliru, bahwa penyidikan tidak sahih, bahwa peradilan telah berpihak.
Skemanya presisi. Narasi-narasi positif tentang pembelaan hukum tersangka korupsi disebarkan, sementara berita negatif tentang Kejaksaan dimunculkan secara sistematis. Faktanya? Total pembayaran Rp478.500.000 dialirkan dari MS dan JS ke TB, tak hanya untuk berita dan konten, tetapi juga untuk membiayai gerakan sosial yang menggiring publik menjauh dari kebenaran yang seharusnya dibongkar oleh hukum. Dan ironinya, semua dilakukan atas nama demokrasi.
Hari ini, ketiganya telah ditetapkan sebagai tersangka. MS, yang sebelumnya telah ditahan dalam perkara suap kepada hakim dalam kasus minyak goreng, kembali dijerat. JS dan TB menyusul, resmi ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung untuk dua puluh hari ke depan.
Mereka dijerat dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tentang upaya menghalang-halangi proses hukum. Mereka mencoba menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Tapi hukum, yang mungkin tertatih, belum sepenuhnya tumbang.
Di tengah kabar ini, kita—pembaca, penonton, pengguna media sosial—perlu bertanya: sejauh mana kita bisa membedakan antara fakta dan fiksi, antara informasi dan manipulasi?
Karena hari ini, bukan hanya korupsi yang kita lawan. Tapi juga pergeseran makna dari jurnalisme itu sendiri. Ketika berita bisa dibeli, saat itu juga publik kehilangan hak untuk tahu. Dan itulah korupsi yang lebih senyap—yang menyusup di antara kata dan layar kaca.
Tapi belum semuanya gelap. Setidaknya, hari ini, satu bab telah dibuka, dan kebenaran kembali diberi ruang untuk bicara. |WAW-JAKSAT