Monolog Bonus Demografi Mas Wapres: Antara Mimpi Emas, Makan Gratis, dan Dislike Demokratis
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Ada yang menggugah dari sebuah monolog, terutama jika disampaikan oleh seorang Wakil Presiden muda yang lebih sering tampil sebagai cameo dalam sinema politik nasional. Gibran Rakabuming Raka, dari balik layar YouTube-nya yang sunyi, mengangkat tema bonus demografi 2030–2045. Topik ini berat, strategis, dan—jika disampaikan oleh akademisi tua dengan suara monoton—mungkin akan mengundang rasa kantuk. Tapi Gibran membawakannya dengan gaya monolog sunyi yang tidak terlalu informatif, namun sangat Instagrammable.
Sayangnya, algoritma rakyat tak bisa dibohongi. Saat artikel ini ditulis, video tersebut mendapat lebih banyak dislike daripada like—fenomena digital yang lebih menyakitkan daripada dighosting oleh rakyat sendiri. Apakah ini ekspresi demokratis ala Gen Z, atau bentuk kontemporer dari “lempar sendal virtual”? Tentu kita tak bisa menyimpulkan dengan gegabah, tapi sebagaimana dikatakan oleh McLuhan: “The medium is the message.” Mungkin rakyat sedang berkata, “Media boleh kamu punya, tapi pesan tetap kami nilai.”
Makan Gratis, Bonus Demografi dan Bonus Kampanye
Gibran bicara tentang bonus demografi, yaitu kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar dari yang non-produktif. Dalam ekonomi, ini peluang. Dalam politik, ini panggung. Dalam konten YouTube, ini bisa jadi clickbait.
Tapi tak lengkap bicara tentang demografi tanpa menyinggung program ikonik pasangan Prabowo-Gibran: Makan Bergizi Gratis (MBG). Sebuah program yang katanya untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia, atau setidaknya perut mereka. Pertanyaannya: apakah memberi makan gratis ke anak-anak adalah strategi optimal menghadapi lonjakan usia produktif?
Kita tentu tahu, kelaparan memang membuat sulit berpikir. Tapi kenyang saja tidak otomatis membuat orang berpikir lebih baik. “Let them eat cake,” kata Marie Antoinette—sebelum dia kehilangan kepala.
Program MBG mungkin niatnya mulia. Tapi jika pelaksanaannya buruk, bisa berubah menjadi satire nasional: nasi kotak yang datangnya lambat, menunya itu-itu saja, dan dana yang bocor ke mana-mana. Jadi apakah ini solusi demografi? Atau demagogi demografis?
Seperti diingatkan oleh Anies Baswedan, “Bonus demografi bukanlah hadiah, tapi tantangan.” Maka menghadapi tantangan ini dengan nasi bungkus saja tentu agak simplistis. Ibarat menghadapi tsunami data dengan ember plastik.
