Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW

JAKARTASATU.COM — Di tengah hiruk-pikuk pemberantasan korupsi yang kian giat digaungkan, sebuah babak baru justru mengundang tanya: apakah dalam semangat menumpas kejahatan kerah putih, suara pers kini turut dibungkam?

Siaran pers Kejaksaan Agung yang dirilis awal April lalu seolah membuka kembali kotak Pandora hubungan antara penegakan hukum dan kebebasan pers. Dalam dokumen bernomor PR – 331/037/K.3/Kph.3/04/2025 itu, tiga orang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan permufakatan jahat untuk mengganggu jalannya perkara megakorupsi ekspor crude palm oil (CPO). Salah satunya adalah Tian Bahtiar, Direktur Pemberitaan Jak TV.

Yang menjadi perbincangan bukan hanya status tersangka, tapi alasan yang digunakan: sejumlah berita yang ditayangkan oleh Jak TV disebut sebagai alat untuk “mengganggu konsentrasi penyidik.” Pemberitaan dijadikan bukti, lalu disita, bahkan telah dihapus dari ruang publik digital.

Pertanyaannya kemudian menggelantung di udara: Sejak kapan berita menjadi penghalang keadilan, bukan penuntunnya?

“Ini bukan sekadar kasus,” ujar Erick Tanjung, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ). “Ini preseden. Ketika karya jurnalistik yang sah dan belum diuji oleh Dewan Pers langsung disulap menjadi barang bukti kriminal, maka yang dirisak bukan cuma satu media—tapi seluruh ekosistem kebebasan berekspresi di negeri ini.”

Komite Keselamatan Jurnalis, yang terdiri dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil, menyuarakan kekhawatiran kolektif: adanya potensi kriminalisasi terhadap aktivitas jurnalistik yang seharusnya dilindungi oleh Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

UU tersebut sudah jelas: sengketa pers harus diselesaikan melalui Dewan Pers. Bahkan, dalam Nota Kesepahaman antara Kejaksaan dan Dewan Pers yang ditandatangani sejak 2019, Kejaksaan diwajibkan berkoordinasi sebelum menjadikan karya jurnalistik sebagai obyek hukum pidana. Kenapa prosedur ini diabaikan?

Pasal 21 UU Tipikor yang digunakan Kejagung mengatur tentang tindakan obstruction of justice—penghalangan keadilan secara aktif. Namun, dalam praktiknya, menilai berita sebagai alat untuk mengganggu konsentrasi penyidik adalah tafsir yang sangat lentur, bahkan cenderung spekulatif.

“Kalau penyidik terganggu karena membaca berita, itu masalah stamina profesionalisme, bukan unsur pidana,” ujar Wahyu Dhyatmika dari AMSI. “Kritik terhadap proses hukum bukan penghalangan hukum. Kalau berita yang tajam dianggap sebagai peluru kriminal, maka kita semua sedang dalam bahaya.”

Kode Etik atau Kode Hukum?

KKJ tak lantas membela membabi buta. Mereka justru menyerukan agar Dewan Pers turun tangan, memeriksa substansi karya jurnalistik yang jadi polemik. Jika memang ada pelanggaran etik, proses etiklah yang harus diambil—bukan kriminalisasi.

Langkah ini penting untuk menjernihkan dua hal: pertama, apakah jurnalisme yang dilakukan benar-benar merujuk pada fakta dan kepentingan publik? Kedua, apakah ada aktor yang menyelundupkan kepentingan pribadi di balik layar media?

Apa yang Dipertaruhkan? Di tengah upaya pemberantasan korupsi yang seringkali melibatkan kekuatan besar dan jaringan kompleks, suara media seharusnya menjadi alat periksa, bukan korban dari proses hukum. Menjadikan berita sebagai barang bukti tanpa konsultasi etik bukan hanya pelanggaran prosedur, tapi juga pembingkaian realitas secara sepihak.

Kita bisa setuju bahwa pers pun tak luput dari kritik. Tapi demokrasi memberikan jalan: uji etik, bukan jerat pidana. Karena ketika kritik dianggap kriminal, maka yang sedang dijaga bukan keadilan, tapi kenyamanan penguasa.

Jika kebebasan pers adalah oksigen demokrasi, maka hari-hari ini kita sedang menyaksikan kebocoran tabungnya. Bukan karena media terlalu nyaring, tapi karena telinga kekuasaan terlalu rapuh. Dan ketika mikrofon dijadikan barang bukti, siapa yang akan bersuara untuk publik?

Komite Keselamatan Jurnalis hanya satu dari sekian banyak suara yang menolak diam. Tapi dalam kebisuan yang dipaksakan, satu suara pun cukup untuk menggema. “Karena jika jurnalisme dibungkam, yang bisu bukan hanya wartawan—tapi juga kebenaran itu sendiri.” |WAW-JAKSAT