“Susu Gratis, Foto Selfie, Lalu Pulang”
Menakar Arti Kunjungan Wakil Presiden ke Sikka
Oleh: Paul Ms.
Pemerhati Kebijakan Publik/Aktifis
Bupati Sikka tampak sibuk. Ruangan lantai dua Kantor Bupati penuh dengan wajah-wajah serius, penuh catatan, penuh kekhawatiran. Wajar saja, tamu besar akan datang. Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, dijadwalkan singgah dua hari di Sikka—24 sampai 25 April. Sekilas, ini terdengar seperti momentum besar, seperti titik balik pembangunan, seperti sebuah berkah yang turun dari langit kekuasaan. Tapi benarkah demikian?
Di atas kertas, kunjungan seorang Wapres memang tampak penting. Tapi bila dibedah lebih dalam, publik seharusnya menanyakan: apa sih yang sebenarnya bisa dilakukan seorang Wapres? Apa kapasitasnya untuk mengubah nasib Kabupaten Sikka, atau bahkan sekadar menggerakkan satu rupiah anggaran pembangunan? Mari kita bicara jujur: tidak banyak.
Sebab Wapres di republik ini bukanlah seorang eksekutor kebijakan. Ia adalah simbol, pelengkap kekuasaan, bahkan kadang hanya penggembira dalam politik pencitraan. Jika rakyat berharap dari kehadiran Wapres Gibran lahir proyek-proyek besar, dana segar, atau solusi konkret atas stunting, pengangguran, kemiskinan, dan kekeringan di Flores—itu sama saja berharap daun pisang berubah menjadi Wi-Fi.
Kunjungannya untuk Apa?
Agenda resmi menyebut Wapres akan mengunjungi Bendungan Napung Gete, meninjau Rencana Kawasan Ekonomi Perikanan di Nangahale dan Bebeng. Bagus. Tapi kita tahu, semua itu baru “rencana.” Bahkan proposal-proposal yang akan diserahkan langsung pun belum tentu dibaca di pesawat menuju Jakarta, apalagi sampai dimeja Presiden atau Menteri.
Bupati pun menyadari hal ini, sehingga meminta OPD untuk “berkomunikasi dulu dengan kementerian/lembaga terkait.” Sebab, Wapres hanya bisa mengkonfirmasi. Ibarat petugas pos, ia membawa kabar tapi tidak menjanjikan isi paket.
Sayangnya, kita sedang menghadapi realitas di mana rakyat digiring untuk percaya bahwa setiap kunjungan pejabat tinggi adalah berkah, bukan simbol politik kekuasaan yang dikemas dalam plastik manis.
Solo ke Sikka: Jalan Konsolidasi Politik
Wapres datang ke Sikka bukan tanpa makna politik. Ada benang merah yang jelas dan terang benderang: konsolidasi jaringan kekuasaan dari Solo sampai Maumere.
Kepemimpinan lokal yang punya hubungan afiliasi dengan pusat, kini mendapat panggung legitimasi. Kunjungan ini menjadi stempel tak kasat mata atas loyalitas politik dan persaudaraan kuasa.
Maka, jangan heran jika dalam dua hari itu banyak pose selfie bertebaran—bukan hanya dari anak-anak sekolah yang dibagi susu, tapi dari elite lokal yang sedang menabuh genderang eksistensi.
Sikka bukan satu-satunya panggung. Kita sudah lihat ini di berbagai daerah. Di Sulawesi Selatan, Maluku Utara, hingga Kalimantan Tengah, Wapres datang, tersenyum, membagikan program populis, lalu menghilang bersama janji-janji digital.
Ingat program “Lapor Mas Wapres”? Masih ada? Masih berjalan? Siapa yang menindaklanjuti? Tak ada yang tahu. Mungkin kini tersimpan di folder-folder Google Drive di Setwapres yang penuh laporan rakyat tanpa nasib.
Kampus? Tidak, Terima Kasih
Ada rumor bahwa Wapres hendak berdialog dengan mahasiswa di kampus Unipa Maumere. Ide ini terdengar seperti satire yang ditulis oleh stand-up comedian. Karena semua tahu, kampus hari ini bukan ruang yang aman untuk para elit kuasa poppulis. Terlalu banyak pertanyaan sulit, terlalu banyak data, terlalu banyak intelektual yang tidak bisa dibungkam dengan selfie atau susu gratis.
Apalagi Unipa / STFLedalero dikenal sebagai rumah akademik dengan kultur kritis. Mahasiswa Flores terbiasa berdiskusi dengan logika, bukan dengan iming-iming. Maka, kemungkinan besar agenda itu akan digantikan dengan kunjungan ke SD atau TK, tempat di mana semua orang akan tertawa dan bertepuk tangan, tanpa perlu debat panjang soal keadilan fiskal atau ketimpangan anggaran.
Problem di Sikka: Sudah Lama dan Nyata
Sikka bukan daerah miskin perhatian. Justru terlalu banyak “kunjungan kerja,” tapi terlalu sedikit “kerja setelah kunjungan.”
Masalah di Sikka tidak perlu kunjungan dua hari untuk dimengerti. Cukup buka laporan BPS: angka kemiskinan masih tinggi, infrastruktur dasar belum merata, nelayan kesulitan modal dan teknologi, tenaga kesehatan masih kurang, dan bonus demografi hanya jadi istilah di power point.
Apa gunanya kunjungan dua hari jika tidak melahirkan kebijakan? Apa arti menyapa nelayan tanpa memberi mereka akses pasar dan cold storage? Apa artinya melihat bendungan Napun Gete, kalo cuman proyek setengah jadi dan petani tetap kesulitan air?
Padahal, solusi sebenarnya ada di tangan para anggota DPR RI asal NTT. Mereka yang seharusnya menjadi jembatan antara pusat dan daerah. Tapi apa yang kita lihat? Banyak dari mereka sibuk berburu posisi, sibuk bermain di lingkaran elite nasional, dan lebih sering muncul saat musim kampanye daripada masa sidang. Kalau sinergi dibangun terus-menerus, tak perlu menunggu Wapres datang untuk bangun dan selfie di kawasan ekonomi perikanan.
Rakyat Tidak Butuh Parade
Rakyat Flores, rakyat Sikka, tidak butuh parade dua hari. Mereka butuh perubahan nyata. Mereka butuh air bersih, pendidikan bermutu, jalan yang tidak putus saat hujan, dan harga hasil bumi yang tidak ditentukan tengkulak. Mereka tidak menolak kedatangan Wapres, tapi juga tidak ingin diperlakukan seperti penonton dalam panggung besar kekuasaan.
Mereka sudah terlalu sering jadi latar belakang foto, bukan subjek pembangunan.
Simbol Tak Mengubah Nasib
Wapres Gibran boleh datang. Kami akan sambut dengan sopan. Tapi jangan bawa harapan yang tidak bisa ditepati. Jangan tinggalkan janji yang tak bisa diukur. Sikka bukan panggung. Flores bukan properti politik. Kami lebih suka diam bekerja di ladang dilaut, daripada menunggu perubahan dari mimpi yang dikemas dalam dua hari kunjungan kerja.
Susu gratis boleh dibagi. Tapi ingat, rakyat butuh gizi yang sistemik, bukan hanya selebrasi.
Selamat datang, Wapres. Kami tidak berharap banyak. Karena kami sudah lama belajar: janji yang paling aman adalah yang tidak pernah diucapkan.