Jokowi ke Vatikan Selamat Ginting: Dapat Berimplikasi Negatif Bagi Prabowo dan Dunia Internasional
JAKARTASATU.COM— Pengaman Militer dan Politik Selamat Ginting merespon Kepergian mantan Presiden Jokowi ke Vatikan untuk melayat Paus Fransiskus. Hal itu menurutnya dapat berimplikasi negatif dari sisi diplomasi dan politik bagi Indonesia di mata internasional.
Dikemukakan Selamat Ginting Ada tiga alasan, kepergian Jokowi diutus melayat ke Vatikan dapat berimplikasi negatif bagi Indonesia dari sisi diplomasi hubungan internasional.
Pertama, Jokowi bukan lagi kepala negara maupun kepala pemerintahan aktif. Sedangkan Sri Paus bukan sekadar pemimpin agama Katolik dunia, melainkan juga kepala negara Vatikan.
Kedua, ada laporan tentang Jokowi dari OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project), sebuah organisasi jurnalistik investigasi internasional yang fokus pada pelaporan kejahatan terorganisir dan korupsi di seluruh dunia. Jokowi masuk dalam daftar finalis pemimpin korup versi OCCRP 2024.
Ketiga, publik di Indonesia dan dunia mengritik kemampuan komunikasi publik Jokowi yang dianggap tidak representatif secara diplomatik untuk negara sebesar Indonesia. Penguasaan bahasa asingnya sangat lemah untuk hubungan internasional.
“Dari sisi hubungan internasional, kehadiran Jokowi di Vatikan mengandung risiko berat bagi diplomasi Indonesia. Apalagi jika: negara-negara Barat menanggapi laporan OCCRP secara serius dan mengaitkan kehadiran Jokowi sebagai sinyal lemahnya komitmen Indonesia terhadap pemberantasan korupsi. Mendiang Paulus Fransiskus dikenal sebagai pemimpin sederhana dan anti-korupsi. Bertolak belakang dengan Jokowi, karena kesederhanaannya merupakan pencitraan politik,” kata Selamat Ginting, Jum’at 25/4/ 2025.
“Dalam laporannya, OCCRP menempatkan Presiden Suriah Bashar Al-Assad, sebagai pemenangnya. Jokowi sebagai finalis pertama, diikuti William Ruto (Presiden Kenya), Bola Ahmed Tinubu (Presiden Nigeria), Sheikh Hasina (mantan Perdana Menteri Bangladesh), dan Gautam Adani (pengusaha India),” tambahnya.
Seperti diketahui, selain Jokowi, rombongan utusan Presiden Prabowo Subianto ke Vatikan, terdiri dari Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, dan Menteri HAM Natalius Pigai. Ketiganya beragama Katolik.
Legitimasi Pemerintah
Dari sisi politik domestik, kepergian Jokowi ke Vatikan juga dapat berimplikasi negatif. Potensi delegitimasi pemerintahan baru Prabowo Subianto apabila publik menilai keputusannya sebagai bentuk perlindungan terhadap elite bermasalah. Sebab Jokowi sedang mendapatkan sorotan dalam kasus dugaan ijazah palsu di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kebohongan publik dalam kasus mobil Esemka. Kedua kasus itu sedang dalam persidangan awal.
“Presiden Prabowo bisa dituding memberikan kesempatan kepada Jokowi untuk kabur ke luar negeri menghindari persidangan yang menyeret Jokowi. Jadi sangat tidak menguntungkan bagi Prabowo mengizinkan atau mengutus Jokowi ke Vatikan,” jelas Selamat Ginting.
Jadi, lanjutnya, dalam memahami kepergian Jokowi ke luar negeri, tentu saja ada kalkulasi politik yang kemungkinan dilakukan Presiden Prabowo Subianto. Sepertinya Prabowo sangat menjaga stabilisasi politik dengan cara menjaga harmoni politik dengan Jokowi. Tujuannya untuk memastikan stabilitas politik di awal pemerintahan dan menghindari fragmentasi koalisi kekuasaan.
“Namun di sisi lain, bisa juga hal ini sebagai langkah pengasingan simbolik. Tujuannya mengalihkan Jokowi ke ranah diplomatik internasional untuk menjauhkan dari dinamika politik domestik yang sensitif,” jelasnya lagi.
Ditegaskan Selamat Ginting, mengingat Jokowi sedang mendapatkan sorotan dari civil society maupun forum purnawirawan prajurit TNI yang terdiri dari 200-an perwira tinggi dan 90-an kolonel. Bahkan terdapat nama Jenderal (Purn) Try Sutrisno, Jenderal (Purn) Fachrul Razi, Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto, Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto, Marsekal (Purn) Hanafie Asnan, Letjen Marinir (Purn) Suharto, Mayjen (Purn) Sunarko, dan lain lain.
“Maka bisa jadi Presiden Prabowo sedang memberikan perlindungan politik kepada Jokowi yang perlahan-lahan pengaruh politiknya mulai lemah. Prabowo tampaknya sedang memberikan peran ‘terhormat’ untuk Jokowi guna menghindari konflik terbuka atau tuntutan hukum langsung terhadap Jokowi yang memberikan warisan buruk bagi demokrasi di Indonesia,” urainya
Menurut Selamat Gunting, Presiden Prabowo cukup mengirimkan pejabat maupun mantan pejabat Indonesia yang beragama Katolik untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus. Hal itu sebagai bentuk citra dan penghormatan Indonesia kepada dunia Katolik dan komunitas internasional.
Masih Ginting, tidak ada urgensi yang memaksa untuk mengirimkan Jokowi sebagai mantan Presiden yang akhir masa jabatannya penuh dengan kontroversi negatif. Repot jika Jokowi harus berpidato, malah kesannya justru akan mempermalukan Indonesia akibat minimnya literasi Jokowi.
“Sehingga secara analisis politik pengiriman Jokowi ke Vatikan oleh Presiden Prabowo Subianto memiliki biaya politik tinggi. Apalagi jika tidak dibarengi dengan kejelasan sikap pemerintahan Prabowo Subianto terhadap isu integritas, moral kepemimpinan nasional, dan reformasi hukum,” jelasnya.
Diakhir penuturannya Selamat Ginting menilai Jokowi bukan siapa-siapa lagi, dia justru dapat menimbulkan interpretasi negatif di masyarakat. Ke depan, Presiden Prabowo harus ekstra hati-hati dan lebih cermat lagi terhadap kiprah Jokowi yang masih cawe-cawe dalam politik. Hanya Prabowo sendiri yang dapat menghentikan matahari kembar dalam pemerintahannya. (Yoss)