Foto: dok. ist

JAKARTASATU.COM– Kecelakaan tragis antara Kereta Api Commuterline Jenggala dengan truk bermuatan kayu di Perlintasan Jalan Langsung (JPL) 11 Gresik (8/4/2025) yang merenggut nyawa Asisten Masinis Abdilah Ramadhan, harus menjadi momentum evaluasi serius bagi semua pemangku kepentingan perkeretaapian. Kejadian ini bukan hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan PT KAI, tetapi juga menegaskan bahwa kecelakaan di perlintasan sebidang masih menjadi ancaman berulang.

Dalam dua bulan terakhir saja, selain kasus di Gresik, KA Kertanegara (Purwokerto-Malang) nyaris bertabrakan dengan truk pupuk. Data menunjukkan, ratusan kecelakaan serupa telah terjadi, dengan korban jiwa dan kerugian material yang terus berulang. Pertanyaannya: kapan kita benar-benar belajar?

Akar Masalah: Regulasi vs Implementasi

Secara regulasi, UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian dan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas Jalan telah mengamanatkan bahwa perlintasan idealnya tidak sebidang (flyover/underpass). Namun, realitanya:

  1. Pembangunan tidak merata: Hanya jalan nasional/provinsi yang prioritas, sementara perlintasan di kabupaten/kota terbengkalai akibat keterbatasan APBD.
  2. Tanggung jawab tumpang-tindih:
    • Menteri PUPR bertanggung jawab untuk jalan nasional.
    • Pemda untuk jalan provinsi/kabupaten, tetapi banyak yang abai karena beban biaya operasional petugas palang pintu.
  3. Perlintasan “liar”: Hampir 70% kecelakaan terjadi di perlintasan tanpa palang pintu, yang hanya dijaga relawan dengan peralatan seadanya.

Saat ini, PT KAI hanya mengelola perlintasan yang sudah ada palang pintu dan petugas, sementara perlintasan “liar” menjadi area risiko tinggi. Padahal, DJKA sebagai pemilik prasarana wajib mengevaluasi semua perlintasan, termasuk di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan.

Solusi Sistemik: Teknologi dan Kelembagaan

Untuk memutus mata rantai kecelakaan, diperlukan pendekatan holistik:

1. Penerapan Teknologi Keselamatan

  • Automatic Train Stop (ATS) dan Automatic Train Protection (ATP):
    • Diwajibkan dalam PM No. 52/2014, tetapi belum terpasang massal karena mahal.
    • Harus dipasang di lintasan dan lokomotif untuk menghentikan KA otomatis saat ada bahaya.
  • Sensor dan CCTV Cerdas:
    • Memantau objek penghalang di perlintasan dan terhubung dengan sistem pengereman.
    • Saat ini, PT KAI baru uji coba CCTV biasa yang hanya memantau, bukan mencegah.

2. Pembentukan Operator Khusus Perlintasan

Solusi kelembagaan yang bisa dipertimbangkan:

  • Badan Layanan Umum (BLU):
    • Mengelola semua perlintasan sebidang secara terpusat dengan pendanaan APBN/APBD.
  • Anak Perusahaan PT KAI (misal: KAI Property Management):
    • Diperluas kewenangannya untuk membangun palang pintu, merekrut petugas, dan merawat jalan sekitar perlintasan.
  • Sumber Pendanaan:
    • Pajak perlintasan (ditagih via pajak kendaraan di daerah berkereta api).
    • Premi asuransi tambahan untuk penumpang KA dan bus.

Tantangan dan Langkah ke Depan

  1. Koordinasi Lintas Kementerian:
    • Kemenhub, PUPR, dan Pemda harus bersinergi untuk percepatan pembangunan flyover/underpass.
  2. Anggaran Prioritas:
    • Alokasi APBN/APBD khusus untuk pemasangan ATS/ATP dan perbaikan infrastruktur.
  3. Sosialisasi dan Penegakan Hukum:
    • Tegaskan sanksi bagi pelanggar perlintasan dan tingkatkan kesadaran masyarakat.

Darurat Keselamatan Perlintasan

Kecelakaan di Gresik dan Purwokerto adalah warning keras. Kita tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan reaktif. DJKA harus mengambil inisiatif memimpin kolaborasi semua pihak, karena keselamatan publik bukanlah pilihan, melainkan kewajiban konstitusional.

“Mencegah kecelakaan butuh keberanian politik, komitmen anggaran, dan integrasi teknologi. Jangan tunggu korban berikutnya.”

Lalu siapa yang menjadi inisiator dalam perbaikan managemen peerlintsan sebidang ini? Apakah DJKA?

*Edi Suryanto
Ketua Umum Serikat Pekerja Kereta Api (SPKA) dan Presiden Federasi Serikat Pekerja Perkeretaapian