Foto: Rocky Gerang dalam diskusi “Kebijakan Melawan Alam: Gersang Harus Damai”, Kamis (24/4/2025), di Jakarta/jaksat

JAKARTASATU.COM– Dalam sebuah diskusi yang mengangkat isu etika lingkungan, pengamat Rocky politik Rocky Gerung mengungkapkan pandangan tajam tentang bagaimana intervensi manusia telah melampaui kemampuan alam dalam memulihkan diri. Menurutnya, kerusakan lingkungan yang disebabkan manusia tidak hanya mengganggu keseimbangan alam tetapi juga menciptakan efek domino yang kompleks dan sering kali tidak disadari.

Rocky memulai pembahasannya dengan analogi sederhana: “Lingkungan tidak memerlukan hujan standar. Kita yang membuat standar untuk lingkungan, padahal alam sudah menulis standarnya sendiri,” ujarnya dalam diskusi “Kebijakan Melawan Alam: Gersang Harus Damai”, Kamis (24/4/2025), di Jakarta.

Ia menjelaskan bahwa alam memiliki mekanisme pemulihan alami. Misalnya, Gunung Sahara yang sering dianggap “tidak bermutu” justru berperan penting dalam menyuburkan Hutan Amazon melalui badai yang membawa fosfat. “Dalam 40 jam, fosfat dari Sahara bisa sampai ke Amazon. Bumi memulihkan dirinya sendiri,” tambahnya.

Menurut Rocky, akar masalah kerusakan lingkungan adalah sistem ekonomi yang eksploitatif. “Eksploitasi terhadap lingkungan terjadi karena ada eksploitasi manusia terhadap manusia lain. Ini adalah buah dari kapitalisme,” tegasnya.

Ia juga mengkritik solusi-solusi instan seperti pajak lingkungan atau carbon trading, yang dinilainya tidak menyentuh akar masalah. “Negara tidak bisa diatur sekadar dengan transaksi. Alam berpikir secara etis, bukan ekonomis,” ujarnya.

Rocky memberikan contoh nyata tentang bagaimana tindakan kecil bisa berdampak besar.

“Semut yang mati. Kematian seekor semut mengurangi produksi kalor di sebuah ruangan, yang pada akhirnya bisa memengaruhi suhu dan perilaku manusia di dalamnya. Dampak Global: Penambahan 0,001 mikrosentimeter air laut di Jawa bisa menyebabkan banjir di Belanda akibat kenaikan permukaan air,” contohnya.

“Kita marah pada sesuatu yang tidak kita sadari adalah hasil perbuatan kita sendiri. Menginjak semut mungkin bukan dosa, tetapi ada konsekuensinya,” jelas Rocky.

Rocky menekankan pentingnya melihat masalah lingkungan dari dua perspektif. Pertama, kegagalan yeknis yakni ketidakmampuan manusia menjaga keseimbangan alam.

Kedua, perspektif holistik yakni perlunya memahami bahwa setiap tindakan, sekecil apa pun, memiliki dampak ekologis.

“Kita harus berhenti melihat alam sebagai objek eksploitasi. Setiap keputusan harus mempertimbangkan jejak ekologisnya,” pungkasnya. (RIS)