Peluncuran Laporan ILO terbaru mengenai Transformasi AI dan Digitalisasi di Tempat Kerja terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Peluncuran Laporan ILO terbaru mengenai Transformasi AI dan Digitalisasi di Tempat Kerja terhadap Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Indonesia menyambut baik laporan ILO terbaru mengenai AI dan digitalisasi sebagai momentum untuk memastikan pengawasan dan tindakan pencegahan di negara ini relevan dengan perkembangan dunia kerj

JAKARTASATU.COM – Di satu sudut ruang pertemuan di Jakarta, pada tanggal 24 April lalu, percakapan tentang masa depan dunia kerja berubah selamanya. Bukan karena sekadar membahas teknologi canggih atau robot-robot pintar. Tapi karena untuk pertama kalinya, diskusi itu fokus pada satu hal yang paling manusiawi: keselamatan dan kesehatan para pekerja di era kecerdasan buatan (AI) dan digitalisasi.

Peluncuran laporan terbaru Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), “Revolutionizing Health and Safety: The Role of AI and Digitalization at Work”, bukan sekadar deretan kata ilmiah dan data statistik. Ia adalah panggilan: untuk beradaptasi, untuk melindungi, dan untuk bertindak.

Dan Indonesia, dengan segala keragaman serta dinamika ketenagakerjaannya, menyambut tantangan ini dengan kepala tegak.

Digitalisasi adalah Solusi

Di hadapan para pengusaha, buruh, dan regulator, M. Fachrurozi, S.H, M.A, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3, mengangkat sebuah ide besar: bahwa teknologi bukan lagi ancaman, melainkan alat untuk perubahan.

“Digitalisasi menjadi salah satu solusi,” ujarnya mantap. Dalam waktu dekat, Kementerian Ketenagakerjaan akan meluncurkan sistem pengaduan berbasis digital — menghubungkan pekerja dari pelosok Aceh hingga Papua dengan para pengawas ketenagakerjaan dalam satu ketukan jari. Respon akan lebih cepat, distribusi masalah akan lebih efisien, dan keselamatan pekerja akan lebih terjaga.

Tak berhenti di situ, pemerintah pun tengah menyiapkan revisi UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, merapikan regulasi lama agar selaras dengan dunia kerja masa kini—yang lebih cepat, lebih kompleks, dan lebih berteknologi.

Antara Peluang dan Tanggung Jawab

Rima Melati, Ketua Komite K3 Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), tak menutupi optimismenya. Baginya, AI membuka jalan baru: meningkatkan efisiensi, memperluas jangkauan, dan memperketat kepatuhan dalam standar K3.

Namun ada syarat penting, manusia harus dipersiapkan. “Reskilling dan upskilling menjadi kunci,” tegasnya. Sebab, dunia kerja baru menuntut tenaga kerja yang tak hanya trampil, tapi juga mampu berdampingan dengan teknologi, menguasai AI, bukan sekadar menjadi korban perubahan.

Di sisi lain, Sulistri, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Buruh Makanan, Minuman, Pariwisata, Restoran, Hotel dan Tembakau, berbagi cerita tentang perubahan yang sudah terjadi di lapangan. Di sektor kelapa sawit, misalnya, pekerjaan memupuk—yang dulunya dilakukan secara manual oleh buruh perempuan—kini mulai digantikan oleh mesin.

“Serikat pekerja aktif melakukan pemetaan, sosialisasi, dan advokasi,” katanya. Mereka memastikan, dalam setiap transisi, ada prinsip keadilan yang ditegakkan. Tidak ada yang tertinggal, tidak ada yang dikorbankan diam-diam demi kemajuan.

Antara Peluang Besar dan Risiko Baru

Laporan ILO menggambarkan realitas yang penuh paradoks. Di satu sisi, teknologi seperti robotika, realitas virtual, dan wearable smart devices telah membuat pekerjaan lebih aman. Robot menggantikan manusia dalam tugas-tugas berbahaya. Sensor pintar mendeteksi gas beracun sebelum membahayakan pekerja.

Namun di sisi lain, bahaya baru mengintai: risiko dari interaksi manusia-robot, serangan siber pada sistem keselamatan, hingga stres karena beban kerja berbasis algoritma yang tak mengenal batas jam kerja.

Manal Azzi, Ketua Tim Kebijakan K3 di ILO, mengingatkan:
“Digitalisasi menawarkan kesempatan besar untuk meningkatkan keselamatan di tempat kerja. Tapi kita harus memastikan, penerapannya tidak menciptakan risiko baru.”

ILO menekankan bahwa dunia belum sepenuhnya siap. Banyak negara belum memiliki kebijakan K3 yang cukup kuat untuk mengatur risiko di era digital. Konvensi internasional seperti ILO Convention No. 155 dan 187 menjadi fondasi penting, tapi tanpa keterlibatan pekerja, pendidikan tentang teknologi, serta riset jangka panjang, manfaat besar itu bisa berubah menjadi ancaman baru.

Di Indonesia, langkah awal sudah ditapaki: membangun sistem pengaduan digital, mengkaji ulang regulasi keselamatan kerja, mengedukasi pekerja dan pengusaha.

Tetapi jalan ini masih panjang. Sebuah Dunia Kerja Baru: Untuk Siapa? Di akhir pertemuan itu, satu pertanyaan diam-diam bergaung di udara: Untuk siapa semua ini?

Untuk para pekerja yang pantas mendapatkan tempat kerja yang lebih aman dan lebih bermartabat. Untuk para pengusaha yang memahami bahwa teknologi dan keselamatan adalah investasi jangka panjang, bukan sekadar biaya tambahan. Dan untuk Indonesia, yang tengah membangun masa depannya di atas fondasi perubahan, keberanian, dan keadilan.

Era baru dunia kerja bukan tentang menggantikan manusia dengan mesin. Tapi tentang bagaimana mesin bisa memperbesar martabat manusia. Dan kisah ini, baru saja dimulai. |WAW-JAKSAT