Efek Jokowi: Teater dalam Gang Mati, Politik Busuk Tumbuh di Mana-mana

Oleh Buni Yani

Dramawan dan sutradara kondang Teguh Karya pernah mendirikan Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon di kawasan Kebon Kacang yang tidak jauh dari Hotel Indonesia dan Bundaran HI. Dikabarkan, Teguh Karya pernah mengatakan dia mendirikan pusat kesenian itu meniru komunitas-komunitas teater di Eropa. Waktu itu tahun 1993, sekitar lima tahun sebelum Orde Baru tumbang.

Disebut “Teater dalam Gang” karena letaknya memang dalam gang. Teguh memproyeksikan teater itu akan menjadi alternatif dan oase kebudayaan di Jakarta yang sudah berkembang menjadi metropolitan yang semakin impersonal, minim kebudayaan, dan kurang manusiawi. Namun dalam perjalanannya Teater dalam Gang rintisan Teguh Karya itu tidak berjalan seperti diharapkan.

Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon pelan-pelan tidak pernah kedengaran lagi. Entah apa penyebab pusat kesenian itu tidak tumbuh seperti diharapkan. Bisa jadi karena sumber pendanaan yang tidak stabil, program yang tidak digarap dengan baik, atau hal-hal lain. Entahlah. Publik tidak pernah lagi mendengar kegiatannya. Namun begitu, rintisan membentuk komunitas-komunitas kecil seni dan budaya paling tidak sudah dimulai oleh Teguh.

Nasib Teater dalam Gang Tuti Indra Malaon adalah cermin dari kondisi seni dan budaya Indonesia pada saat ini. Menyusul gempuran teknologi digital yang tanpa ampun, pelan-pelan halaman sastra, seni dan budaya di koran cetak mulai menghilang karena korannya sendiri tidak lagi terbit. Sementara bagi banyak koran cetak yang masih terbit, keberadaan rubrik seni dan budaya mulai dianggap tidak penting, dikalahkan oleh rubrik lain yang lebih mendatangkan keuntungan finansial.

Rubrik seni dan budaya mengalami nasib yang tidak menguntungkan. Para penulis puisi, cerpen, dan kritik sastra tidak tahu ke mana lagi harus menerbitkan karya mereka agar dibaca oleh khalayak luas. Para penulis merasa kesepian karena tidak ada lawan dialog. Medium mereka untuk menyampaikan karya dan gagasan semakin terbatas. Mereka berkarya tetapi tidak punya medium untuk berdialog dengan pembaca.

Koran-koran cetak semakin sedikit. Ada yang bertahan hanya dengan melakukan penerbitan daring. Tentu ini kabar menggembirakan. Namun bagi pembaca yang sudah terbiasa memegang kertas koran, penerbitan daring dianggap kurang prestisius. Karya sastra, entah itu puisi atau cerpen, dianggap tidak cukup hanya berbentuk digital.

Dan ini yang lebih penting. Kalaupun karya para penulis itu diterbitkan secara daring, mereka tidak mendapatkan imbalan sebesar bila karya mereka terbit pada koran edisi cetak. Ini membuat para penulis itu semakin sulit hidup bila hanya bergantung pada tulisan mereka.

Ironisnya, ketika nasib seni dan budaya semakin terpuruk dan orang-orang di gang-gang kecil Jakarta semakin jarang membicarakan soal-soal dan kegiatan budaya yang bermakna, pada saat yang sama pembicaraan mengenai politik justru semakin meningkat. Orang-orang sangat bergairah membicarakan bansos yang diikuti kewajiban memilih capres tertentu.

Perubahan orientasi ini tidak saja menyedihkan tetapi juga mengkhawatirkan. Terjadi penurunan kualitas budaya yang sangat besar. Warga dididik bergantung pada capres, cagub atau cawalkot yang memberikan bansos. Bila tidak memilih pemberi bansos maka akan mendapatkan teror atau perlakuan tidak wajar. Bansos menjadi senjata untuk menundukkan orang-orang lemah dan miskin. Cara licik dalam berpolitik dengan membeli suara kaum tak berdaya.

Sepuluh tahun terakhir Indonesia di bawah kekuasaan Jokowi yang zalim menciptakan musim paceklik panjang kebudayaan dan peradaban. Hampir semua segi dirusak oleh Jokowi yang memerintah dengan kebodohan. Politik, ekonomi, hukum, seni, dan budaya rusak—semuanya. Indonesia berada di tepi jurang kehancuran, yang menurut Prabowo bertahun-tahun silam, akan bubar pada tahun 2030.

Dulu para seniman dengan inisiatif sendiri mendirikan komunitas-komunitas kesenian independen, suatu ciri masyarakat sipil yang tumbuh di negara demokrasi. Mereka merayakan kebebasan, mengungkapkan pendapat lewat karya seni. Mereka antusias mengembangkan kebudayaan secara mandiri lewat usaha-usaha yang melibatkan partisipasi warga.

Namun kondisi positif yang mulai tumbuh itu kini seperti patung pasir yang disapu ombak di pinggir pantai. Patung itu kini rata dengan tanah, tak berbekas. Jokowi adalah aktor utama di balik pembinasaan seni dan budaya selama 10 tahun. Dengan kapasitas intelektual yang sangat minim, dan bahkan kini keaslian ijazahnya dipertanyakan oleh massa yang luas, Jokowi bertindak seperti algojo robot tanpa hati yang melakukan penyembelihan terhadap budaya dan kemanusiaan.

Jokowi melibas dengan kejam lawan-lawan politiknya. Para seniman, intelektual, dan penjaga denyut nadi kebudayaan dia persekusi tanpa ampun. Pada saat yang sama, dia membayar buzzer dan preman untuk melakukan intimidasi. Pembungkaman terhadap pikiran yang berbeda terjadi tanpa henti dan dilakukan secara brutal. Jokowi sangat menikmati kekejaman yang dia lakukan kepada siapa pun yang dia anggap lawan. Hatinya lebih dingin dari es, tak tersentuh oleh percikan nilai-nilai kemanusiaan.

Jokowi tidak hanya telah mengkhianati bangsanya, tetapi juga kemanusiaan secara keseluruhan. Karena, mempersekusi satu orang manusia tidak bersalah sama dengan mempersekusi semua manusia. Sebuah analogi dari ayat al-Qur’an yang menyebutkan bahwa membunuh satu orang manusia sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan. Tapi, saking kejamnya Jokowi, dia bahkan sama sekali tak merasa bersalah. Dia merasa kekejamannya adalah hal normal.

Efek Jokowi, atau lebih tepatnya efek kemerosotan Jokowi, akan terus menghantui bangsa ini di masa depan. Jokowi seolah telah memasukkan semua produk kebudayaan dan peradaban ke dalam ruang pembantaian. Dia binasakan semua hal yang menyinggung dirinya dan bertentangan dengan kebodohannya. Jokowi sangat bangga dengan ketidaktahuan dan kebodohan yang sudah menjadi napas dan habitusnya.

Jokowi menginginkan semua orang sama atau lebih bodoh dari dirinya. Entah dari mana ego megalomaniak super negatif ini muncul begitu ekstrem. Normalnya, orang bodoh berusaha memperbaiki diri agar menjadi cerdas. Tetapi dalam kasus Jokowi, yang terjadi sebaliknya. Jokowi memaksa agar semua orang turun derajat. Dia memaksa semua orang sama atau lebih bodoh dari dirinya.

Jokowi adalah anomali kemanusiaan dan peradaban. Dia anti pada apa saja yang baik. Dia adalah manusia yang berasal dari kegelapan. Kuasa gelap gulita menguasai pikiran, hati, dan tindak-tanduknya.

Kelak masa-masa Jokowi berkuasa akan dikenang oleh anak-cucu kita sebagai masa-masa kegelapan Indonesia. Jokowi adalah arsitek kegelapan itu. Dia adalah manusia yang diturunkan dari neraka ke bumi, seperti sangat tepat digambarkan oleh seorang akademisi UI. Gelar yang sama sekali tidak berlebihan bila melihat portfolio Jokowi dengan kezaliman yang sempurna dan tiada tara.

Kini, mengembalikan teater ke dalam gang, dan pada saat yang sama menghilangkan politik busuk dari dalamnya, ibarat menegakkan benang basah. Kerusakan sudah paripurna. Republik hanya menunggu bubar dan meninggalkan puing-puing kebodohan yang memalukan. Penanda yang akan menjadi artefak tak termaafkan.

Efek Jokowi jauh melampaui imajinasi orang waras untuk bisa membayangkannya. Karena efek itu telah menjangkiti pikiran-pikiran cemerlang yang kemudian menjadi busuk dan ikut seperti lalat mengerubungi kotoran yang menjijikkan. Jokowi sangat piawai menularkan kebodohan dan kezaliman kepada siapa saja yang mendekatinya. Panggungnya seluas Indonesia. Dia pemain watak dalam tragedi tak berkesudahan selama 10 tahun.

Jokowi harus dihentikan apa pun risiko dan ongkosnya. Karena Jokowi adalah kegelapan itu sendiri yang merusak bangsa, negara, dan kemanusiaan. Menyerah pada kejahatan, kebodohan, dan kezaliman adalah sama dengan menerima keberadaannya. Dan kita yakin bangsa Indonesia tidak serendah dan sepengecut itu. ***