Parodi Duta Senyum | AI-WAW
Parodi Duta Senyum | AI-WAW

Negeri Seribu Senyum

Cerpen: Wahyu Ari Wicaksono

Pagi itu, Mbak Ayu Puspa bangun dan menemukan namanya tiba-tiba masuk berita Utama, “Ayu Puspa Diusulkan Menjadi Duta Senyum Indonesia.”
Sontak di depan cermin, ia mencoba tersenyum. Sedikit miring, sedikit getir. Seperti nasi bungkus yang dibayar dengan recehan, toh tetap diterima, meskipun tetap terasa sedikit menyesakkan dada.
Tak bisa dipungkiri, senyum Ayu memang bukanlah sembarang senyum biasa. Ia lahir dari bangsa yang konon tetap bisa tersenyum walau dijajah 3,5 abad lamanya, dikhianati 70 kali, dan diputuskan UMR-nya hanya naik seratus perak namun dengan pesta kembang api yang menyilaukan mata.
Senyum yang bertahan lebih lama daripada umur beberapa partai politik yang bermunculan menjelang Pemilu. Senyum yang mengering di bibir seperti cat di tembok rumah subsidi, namun tak juga bisa terbeli.
“Senyum itu bahasa universal,” begitu kata guru PR saat Ayu kecil dulu. Tapi kalau di Indonesia, senyum itu sudah berubah jadi dialek ketahanan sosial, setara dengan “nrimo” dalam kamus Jawa atau “yang penting ikhlas” dalam caption Instagram.
Sore itu, Ayu duduk di warung kopi, menunggu kabar resmi tentang penetapannya sebagai duta senyum Indonesia tersebut. Sementara itu di sekelilingnya, bumi tetap berputar dan Indonesia tetap berjalan seperti biasa.
Tukang parkir masih tetap tersenyum sambil mengacungkan tangan, bahkan di tempat parkir yang sebenarnya gratis. Penjual gorengan masih tetap tersenyum sambil berkata, “Minyak naik, Bu,” seolah itu berita baik. Ada juga seorang pemuda berbaju rapi yang selalu tersenyum sambil membagikan brosur investasi yang akan membawa korbannya ke jurang kehancuran finansial.
Senyum, di negeri ini, adalah pelumas peradaban. Tanpa senyum, mungkin sudah terjadi revolusi saban Selasa. Tanpa senyum, mungkin kita sudah meledak karena Wi-Fi lemot, jalanan berlubang, atau karena antrean BBM yang lebih panjang dari hutang negara.
Mungkin memang benar, manusia adalah aktor-aktor sosial yang terus memainkan peran. Di Indonesia, peran utama kita adalah tersenyum, sambil menahan seluruh episode duka yang bahkan Netflix pun enggan menayangkannya.
Ketika malam datang, Ayu membaca kembali pesan dari seorang pejabat kementerian, “Kami ingin mengangkat Anda, Mbak, sebagai simbol ketahanan bangsa melalui senyum. Senyum menghadapi resesi. Senyum menghadapi inflasi dan senyum menghadapi segala keputusan random pemerintah yang sering terjadi.
Ayu tertawa kecil. Apakah ia harus tersenyum saat melihat petani menggenggam pupuk palsu? Haruskah ia tersenyum saat para pekerja migran pulang membawa peti mati, bukan oleh-oleh?
“Barangkali,” pikir Ayu, “aku harus tersenyum seperti bunga plastik di lobi hotel. Tetap mekar, walau tidak pernah hidup.” Karena di negeri ini, itu berarti bertahan hidup dengan cara apapun, bahkan dengan menambal luka dengan emoji.
Keesokan paginya, Ayu menghadiri konferensi pers. Lampu kamera menyala. Wartawan tersenyum. Para pejabat tersenyum. Sponsor acara tersenyum lebih lebar (mereka dibayar).
Ayu pun tersenyum. Bahkan berikan senyum terbaik yang dimilikinya. Senyum yang, dalam istilah Paul Ekman, bukan hanya Duchenne smile yang jujur, tapi social smile — senyum demi bertahan dalam pertunjukan sosial ini.
Namun dalam hatinya, Ayu membatin, “Kalau senyum bisa jadi diplomasi, mungkin kita nggak perlu rudal. Kita cukup menebar foto selfie ramai-ramai sambil bilang, ‘Maaf ya dunia, kami sibuk tersenyum.’”
Mendadak Ayu teringat satu kutipan Winston Churchill, “Success is the ability to go from failure to failure without losing your enthusiasm.” Nah di Indonesia, sukses adalah kemampuan tersenyum dari kegagalan ke kegagalan tanpa kehilangan kuota internet untuk posting story.
Pada akhirnya, di negeri seribu senyum ini, kita tidak pernah benar-benar menang, tidak pernah benar-benar kalah, kita hanya terus tersenyum, seperti boneka kecil di dashboard mobil, goyang tanpa tujuan, bahagia tanpa alasan.
Dan Ayu, Duta Senyum Indonesia, tersenyum lebar, sambil diam-diam bertanya dalam hatinya, “Kalau hidup ini sandiwara, bolehkah aku pura-pura menangis sebentar?” []