Saat Rakyat Dikepung Propaganda dan Kebenaran Dipersempit, Mau Dibawa ke Mana?
CATATAN Aendra MEDITA*)
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Tetapi tidak jujur, itu sulit diperbaiki.” — Bung Hatta
SETIAP zaman memiliki tantangannya. Namun ada masa-masa ketika sebuah bangsa harus bertanya dengan lebih keras: Mau ke mana Indonesia ini sebenarnya? Pikiran ini terlintas saja saat saya masuk kota kelahiran saya Bandung semalam. Dari Jakarta menuju Bandung untuk acara Halal bi halal keluarga besar kami pada Ahad ini. Saya berpikir Indonesia kaya. Kayak banget alam dan isinya, tapi kenapa seperti sedang dipermainkan kondisinya.
Indonesia hari ini, di tengah gemuruh narasi pembangunan dan pertumbuhan, justru menghadapi krisis yang lebih dalam: krisis kejujuran, krisis kesadaran.
Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini tampak seperti panggung pertunjukan. Rakyat diajak bertepuk tangan untuk drama yang tanpa dramaturgi yang jelas. Sandiwara yang naskahnya sudah ditulis tanpa melibatkan mereka.
Ingat Tan Malaka, dengan kejelian revolusionernya, pernah menekankan:
“Pemuda harus menjadi pelopor dalam revolusi pemikiran, bukan sekadar pelengkap penderitaan.” Ironisnya, dalam iklim sosial hari ini, tidak hanya pemuda, melainkan seluruh bangsa tengah dibentuk menjadi pelengkap — bukan pelopor.
Daya kritis dipangkas, kebebasan berpendapat dibatasi lewat norma-norma samar, dan suara rakyat direduksi menjadi statistik polling atawa statistik.
Noam Chomsky sebenarnya mengingatkan kita:
“Propaganda is to a democracy what the bludgeon is to a totalitarian state.” (Propaganda dalam demokrasi berfungsi sama brutalnya seperti pentungan dalam negara totaliter.) Chomsky juga menegaskan: “Propaganda adalah senjata utama demokrasi modern.” Dan hari ini kita melihat, betapa rakyat lebih sering disuguhi ilusi keterlibatan ketimbang partisipasi nyata.
Maka pertanyaan menjadi relevan: dalam masyarakat yang mengaku demokratis ini, apakah kita sungguh-sungguh merdeka?
Ataukah kita hanya menikmati ilusi kebebasan di bawah bayang-bayang kendali narasi?
Marshall McLuhan (Herbert Marshall McLuhan), lebih dikenal sebagai seorang ilmuwan komunikasi dan kritikus asal Edmonton, Kanada mengatakan: “The medium is the message.” Media tidak sekadar menyampaikan isi berita, tapi membentuk cara berpikir dan merasa. Dalam dunia hari ini, bukan lagi kebenaran yang menjadi pusat perhatian, melainkan siapa yang paling cepat, paling ramai, dan paling viral.
Kemudian, Mohammad Natsir mengingatkan: “Kemerdekaan bukanlah suatu barang jadi, melainkan suatu proses yang terus-menerus.” Kemerdekaan berpikir dan berbicara adalah pekerjaan panjang yang tidak selesai hanya dengan mengganti pemimpin atau memilih dalam kotak suara.
Ia menuntut keteguhan moral, ketahanan nalar, dan kesetiaan kepada kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu tidak populer. Sebagaimana diingatkan Natsir bahwa “Kemerdekaan bukanlah puncak, melainkan jalan panjang yang harus dilalui dengan kesabaran, keberanian, dan kesetiaan.” Indonesia hari ini butuh kesetiaan kepada cita-cita luhur. Bukan kepada kekuasaan, bukan kepada narasi palsu.
Di tengah semua ini, Nelson Mandela pun mengajarkan: “Education is the most powerful weapon which you can use to change the world.” Dan pendidikan yang kita butuhkan hari ini bukan sekadar pendidikan formal, tapi pendidikan kesadaran: — Kesadaran untuk mempertanyakan apa yang disajikan. — Kesadaran untuk membaca di balik narasi besar. — Kesadaran untuk membedakan kebenaran dari konstruksi kepentingan.
Lantas Indonesia mau ke mana?
Bangsa ini tidak kekurangan sumber daya, tidak kekurangan kecerdasan. Yang kita butuhkan adalah kebangkitan nurani: membangun bangsa bukan dengan slogan, tapi dengan keberanian berkata jujur, berpikir merdeka, dan bertindak untuk masa depan bersama.
Bangsa ini harus kembali menjadi rumah bagi nalar sehat, bagi keberanian moral, bagi keadilan yang nyata — bukan sekadar bagi narasi yang indah. Karena bangsa ini bukan milik kekuasaan. Bangsa ini milik kita semua, yang berani bermimpi dan bertindak untuk Indonesia yang lebih jujur, adil, dan bermartabat.
Benarkah ini jalan kita? Indonesia di persimpangan ini harus memilih: Menjadi bangsa yang tunduk pada konstruksi ilusi, atau menjadi bangsa yang berani berpikir merdeka, berbicara benar, dan bertindak untuk keadilan sejati. Sejarah tidak mencatat bangsa-bangsa yang puas dengan kepalsuan. Sejarah menghormati mereka yang setia mencari, berpikir, dan berjuang. Jadilah Indonesia yang bermartabat dan menjunjung nilai luhur. Tabik..!!!
CINGISED, Arcamanik, Bandung – 27 APRIL 2025
*(jurnalis, dan analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia-Jakarta)
Kantor Kementerian Tenaga Kerja Digeledah KPK
JAKARTASATU.COM-- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto menyatakan bahwa penyidik institusinya menggeledah Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). KPK...
Hizbullah Indonesia:
REZIM DRAKULA PASTI GAGAL (10): Demi Republik Proklamasi 45, Menggagalkan Rencana Wiwik-Wowok Mendirikan Kerajaan Komunis Indonesia
Sri-Bintang Pamungkas
Di jaman Presiden Soeharto dulu pernah ada...
Pansel Wakil DK LPS Diingatkan Tak Langgar UU LPS 24/2004
JAKARTASATU.COM-- Panitia Seleksi (Pansel) Pemilihan Calon Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Periode 2025-2030, diminta...
Anies Bikin Reuni Alumni UGM di Rumahnya. Lagi Ngeledek Jokowi?
Oleh Edy Mulyadi, Wartawan Senior
Di tengah gaduhnya polemik ijazah Jokowi, Anies Baswedan malah bikin hajatan....
BANGKITNYA KAUM INTELEKOleh JIMMY H SIAHAAN
Politik etis, yang juga dikenal sebagai politik balas budi, adalah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda (sekarang Indonesia)...