Ilustrasi Memasak Kepala Babi | WAW AI
Ilustrasi Memasak Kepala Babi | WAW AI

Kepala Babi, Pengunduran Diri Hasan Hasbi, dan Kepala yang Tak Pernah Menunduk

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Ada dua jenis orang yang mengundurkan diri di negeri ini. Pertama mereka yang merasa bersalah, dan kedua mereka yang merasa disalahkan. Hasan Hasbi, sang mantan juru bicara presiden yang lebih suka bercanda dengan kepala babi ketimbang kepala berita, tampaknya berada di tengah-tengah keduanya. Ia mundur, tapi bukan karena mengaku salah—melainkan mungkin karena kehabisan kuota jokes dalam konferensi pers. Sebab, ya apa boleh buat, lawakan tentang kepala babi untuk Tempo terlalu “dark” untuk menjadi bahan stand-up malam Sabtu, apalagi untuk diplomasi negara.
Sebelum kita lanjut, mari kita hening sejenak. Bukan untuk mengenang pengabdian Hasan, tetapi untuk mencoba memahami, “Benarkah kata-kata adalah senjata, atau hanya sekadar kalimat yang salah tempat dan salah tafsir? Hasan Hasbi, dalam teori komunikasi Harold Laswell, jelas berada dalam posisi “who says what in which channel to whom with what effect”—dan efeknya? Tentu, bukan tawa. Tapi amarah. Karena saat publik mencari klarifikasi, ia menyuguhkan lelucon.
“Lelucon adalah cara paling jitu untuk menyembunyikan ketidakmampuan memahami kepekaan publik,” begitu yang pernah saya dengar dari Prof. Elisa Kartoprawiro, pakar komunikasi publik yang kerap mengutip Aristoteles sambil ngopi di ruang dosen. Dan betul saja, Aristoteles sendiri pernah bilang, “Character may almost be called the most effective means of persuasion.” Tapi sayang, dalam kasus Hasan, karakter yang dibangun justru persuasif untuk mempermalukan, bukan menyampaikan.
Hebatnya, Presiden Prabowo, dalam gaya yang mirip filsuf militer Sun Tzu, tak langsung menghardik, tapi menunjuk Mensesneg sebagai pengganti jubir —-bahasa halus dari “kamu sudah tak dibutuhkan sebelum kamu sadar diri.” Lalu, Hasan Hasbi mengundurkan diri. Apakah itu bentuk tanggung jawab? Atau hanya strategi retorik ala Machiavelli, “mundur agar tetap selamat dari palu opini publik?”
“Tanggung jawab adalah kata yang mahal, hanya terucap oleh mereka yang sudah kehabisan alasan,” kata mantan penasihat komunikasi politik era demokrasi liberal, yang sayangnya kini hanya jadi motivator di TikTok.
Kita perlu bertanya, bukan hanya pada Hasan, tapi pada seluruh penghuni orbit kekuasaan, “Kenapa mundur begitu langka, dan kalau pun terjadi, harus didahului drama seperti sinetron politik prime time? Kenapa sulit sekali bilang “Saya salah,” padahal lebih mudah dari bilang “Kepala babi bisa dimasak”?”
Paradoksnya adalah mereka yang salah ucap bisa dimakzulkan netizen, tapi mereka yang salah kelola, salah urus, salah tata niaga, bisa tetap duduk di kursi kementerian. Hasan Hasbi mungkin salah pergaulan —-bercanda di tempat yang seharusnya penuh empati. Tapi dibanding para pejabat yang sudah salah berkali-kali dan tetap bertahan karena “penting untuk stabilitas politik,” Hasan justru tampak heroik. Setidaknya dia punya malu, atau minimal, tahu diri.
“Lebih baik mundur karena satu kesalahan, daripada bertahan dengan seribu pembenaran,” kata Barack Obama—atau mungkin kata netizen dengan akun palsu yang memakai foto Obama.
Tapi marilah kita rayakan sedikit sisi baiknya: Hasan Hasbi telah memberi pelajaran penting. Bahwa mengundurkan diri itu tidak haram. Tidak mengurangi kejantanan. Tidak mencederai nasionalisme. Bahkan, bisa jadi meningkatkan harga diri. Ia bukan pecundang, tapi pion yang menyadari langkahnya tak lagi berguna dalam permainan catur kekuasaan.
Namun, jangan dulu kita beri tepuk tangan. Jangan juga kita cibir berlebihan. Karena, seperti kata Slavoj Žižek, “Sometimes the only way to make a meaningful statement is to say something meaningless.” Dan bisa jadi, Hasan Hasbi paham betul itu. Ia tahu, kadang satu lelucon bisa meruntuhkan kredibilitas lebih cepat daripada skandal anggaran.
Jadi, apakah kita harus mencibir atau mengapresiasi? Tentu saja itu tergantung apakah kamu tim “apresiasi keberanian” atau tim “kecam ketidaktepatan”? Atau mungkin kamu seperti mayoritas elit negeri ini, tak pernah merasa salah dan hanya merasa kurang dipahami.
Dalam sebuah negeri di mana pengunduran diri adalah berita langka dan permintaan maaf adalah spesies langka, Hasan Hasbi setidaknya telah menjadi fosil hidup dari peradaban yang seharusnya. Sebuah peradaban yang sadar kalau omongan adalah cermin peradaban. Dan kalaupun ia belum sadar, ya biar sejarah yang menilai. Atau setidaknya, meme di Twitter saja yang melakukannya. Tabik.