IST
IST

Ketika Aura Cinta Lebih Menyala Dibanding Dedi Mulyadi

Oleh Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Dalam panggung politik dan kebijakan publik, seringkali kita disuguhkan drama yang lebih menarik daripada sinetron prime time. Nah kali ini, panggung tersebut diisi oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi, dan seorang remaja bernama Aura Cinta. Perdebatan mereka tentang larangan study tour dan penggusuran rumah warga menjadi viral dan memancing berbagai spekulasi: apakah ini murni kritik sosial, settingan belaka, atau sekadar prank?​ Ada banyak babak yang patut kita simak dalam drama yang terjadi tersebut.
Babak 1: Drama Komedi Nasional Berjudul “Kenangan Bukan di Perpisahan”
Ah, Indonesia! Negara di mana politik tak lagi sekadar urusan kursi, tapi juga lighting, kamera, dan—tentu saja—konten TikTok.
Baru-baru ini, kita disuguhi lakon nasional antara Kang Dedi Mulyadi, sang gubernur eksentrik yang doyan berdialog sambil berkostum etnik, dan Aura Cinta, remaja TikTokers yang mendadak menjadi ikon reformasi 2.0 dari pinggiran Kali Bekasi. Sebuah kisah epik yang sayangnya… terasa lebih mirip pilot project sinetron stripping.
Dalam adegan viral tersebut, Aura Cinta mengkritik larangan study tour dan penggusuran rumah di bantaran sungai, dengan narasi yang sangat menyentuh hati dan… menyentil elektabilitas. Sambil duduk di atas puing rumahnya yang sudah digusur, ia menatap kamera dan berkata: “Jabatan kalian bakal habis, tapi trauma kami enggak akan pergi.”
Apakah ini satire Shakespeare atau monolog sinetron Indosiar? Saya bingung. Tapi netizen berkata: “Ini pasti settingan!”
Babak 2: Ketika Politik Lebih Dramatis dari FTV
Aura Cinta ternyata bukan hanya anak kecil yang tercerabut dari tanah harapan, tapi juga selebgram, bintang iklan pinjol, pemain FTV, dan alumni acara televisi yang dipandu Indra Bekti dan Uya Kuya. Sebuah portofolio yang membuat Socrates pun mungkin akan berkata, “Aku tahu aku tidak tahu… apakah ini nyata.”
Di sisi lain, Kang Dedi, yang selama ini tampil sebagai pemimpin spiritual sekaligus pemulung konten rakyat, tampak begitu siap menghadapi Aura. Dialog mereka berlangsung dengan intensitas layaknya debat Capres, tapi berlokasi di kampung, tanpa moderator, dan tanpa timer 2 menit.
Kang Dedi berkata: “Tinggal di tanah negara itu melanggar hukum!”
Aura menjawab: “Tapi digusur tanpa musyawarah itu melanggar hati nurani!”
Saya menyaksikan percakapan ini sambil makan mie instan dan bertanya pada diri sendiri: “Apakah ini demokrasi deliberatif? Atau Delivereat konten demi elektabilitas?”
Babak 3: Pencitraan, Prank, atau Post-Truth Era?
Kalau menurut Hannah Arendt, “politics is the space where we act in concert.” Tapi di zaman now, politik lebih sering jadi tempat kita acting in concert. Dan seperti kata Baudrillard, ini adalah era simulacra, di mana yang palsu tampil lebih meyakinkan daripada kenyataan.
Aura Cinta tampil sebagai rakyat tertindas, padahal CV-nya lebih panjang dari skripsi mahasiswa FISIP. Kang Dedi tampil sebagai gubernur tegas, tapi kadang lebih banyak nongol di TikTok ketimbang di Perda.
Seorang profesor komunikasi politik yang saya temui di warung kopi pernah bilang, “Politik hari ini adalah soal siapa yang lebih jago ‘ngonten’ daripada ‘ngurusin’. Karena konten bisa diviralkan, sementara kebijakan cuma bisa dilaporkan ke Ombudsman.”
Tapi ya begitulah… drama sells, governance bores.
Babak 4: Satpol PP dan Satire yang Terlupakan
Mari kita tidak lupakan tokoh pendukung dalam kisah ini: Satpol PP, sang pasukan serbaguna yang lebih sering jadi cameo di setiap tragedi rakyat kecil. Mereka muncul tanpa aba-aba, merobohkan bangunan tanpa skrip, dan menghilang sebelum tagar #JusticeForAura sempat trending.
Apakah Satpol PP adalah villain dalam cerita ini? Tidak juga. Mereka hanyalah pemeran figuran dalam sinetron berjudul “Pembangunan Nasional”. Mereka tak pernah mendapat kredit di akhir acara, tapi selalu dapat makian di kolom komentar.
Babak 5: Cinta dalam Demokrasi yang Terlalu Sering Dicuci
Dalam narasi demokrasi, katanya rakyat harus mencintai pemimpinnya. Tapi bagaimana kalau rakyat justru lebih mencintai yang menegur pemimpinnya? Aura Cinta berhasil melakukan satu hal yang tidak bisa dilakukan dosen komunikasi politik mana pun: membuat kita mempertanyakan mana yang lebih penting, pencitraan atau perasaan?
Kata Winston Churchill, “Politics is the ability to foretell what is going to happen tomorrow, next week, next month, and to have the ability afterward to explain why it didn’t happen.” Tapi kalau Churchill hidup hari ini, mungkin dia akan bilang: “Politics is the ability to go viral first, explain later.”
Ending Terbuka: Siapa yang Kena Prank, Siapa yang Jadi Prankster?
Apakah Kang Dedi sedang melakukan brand alignment dengan remaja Gen Z? Apakah Aura Cinta sedang personal rebranding lewat penderitaan? Atau kita semua hanya korban prank dari algoritma?
Entahlah. Tapi satu hal pasti: di republik ini, pencitraan kadang lebih penting dari pembangunan. Karena membangun butuh waktu lima tahun, tapi membangun narasi hanya butuh satu unggahan Instagram dengan filter yang pas.
Jika demokrasi adalah panggung, maka kita tak tahu lagi siapa aktor, siapa penonton, dan siapa sutradaranya. Yang pasti, Aura sudah viral. Dedi sudah trending. Dan kita… masih belum punya rumah.
Saya jadi teringat ucapan Confusius, “Citra tak bisa dimakan, tapi bisa mengenyangkan ego.” Namun, bukankah kalau rakyat sudah bisa akting, itu tandanya pejabatnya terlalu sering bohong?” Bagaimana menurut Anda?
Sebenarnya saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan kalimat bijak, tapi jdinya saya malah takut disangka settingan. Dus, kita akhiri saja tulisan ini seperti nasib rumah yang digusur di bantaran kali: RATA. []