Bertahan dalam Kebisingan: Potret Jurnalis Indonesia 2025 dalam Pertaruhan atas Kebebasan, Profesionalisme, serta Kesejahteraan | WAW-AI
Bertahan dalam Kebisingan: Potret Jurnalis Indonesia 2025 dalam Pertaruhan atas Kebebasan, Profesionalisme, serta Kesejahteraan | WAW-AI
JAKARTASATU.COM – Ketika malam menelan kota, dan kantor-kantor media tinggal menyisakan nyala layar di balik kaca buram, seorang jurnalis di daerah pinggiran Banjarmasin masih mengetik naskah dengan tangan yang pegal dan mata berat. Ia tahu, beritanya mungkin akan ditelan algoritma esok hari, namun tetap ia tulis — karena kebenaran, katanya, tidak boleh tidur.
Di tengah lanskap digital yang hiruk-pikuk, profesi jurnalis di Indonesia hari ini menghadapi paradoks: ia dibutuhkan, namun tidak sepenuhnya dihargai. Inilah kesimpulan utama dari laporan Potret Jurnalis Indonesia 2025 yang disusun oleh AJI Indonesia, berdasarkan survei terhadap 2.020 jurnalis tersertifikasi Dewan Pers di 37 provinsi. Sebuah kerja monumental yang merekam denyut nadi jurnalistik Indonesia — dari wajah yang letih hingga suara yang nyaring, dari gaji yang tersendat hingga semangat yang tak padam.
Ilustrasi AI | WAW
Ilustrasi AI | WAW
Jurnalis Indonesia: Laki-laki, Sarjana, dan Letih
Mayoritas jurnalis Indonesia adalah laki-laki (76,7%) dengan usia rata-rata 36,3 tahun dan latar belakang pendidikan S1 (74,1%). Namun ironisnya, 67,3% dari mereka tidak berlatar belakang ilmu komunikasi atau jurnalistik. Artinya, dunia pers justru diisi oleh mereka yang belajar otodidak — sebuah paradoks sekaligus bukti kuatnya daya tahan para pewarta.
Lebih dari separuh bekerja di media daring (49,4%) dan sebagian besar berposisi sebagai reporter (59,5%). Mereka bekerja rata-rata lebih dari 45 jam per minggu, namun 34,2% di antaranya menerima gaji di bawah Upah Minimum Provinsi. Mayoritas (32,9%) bergaji Rp2,5 juta hingga Rp4 juta per bulan. Meski begitu, angka kebanggaan terhadap profesi ini tetap tinggi: 4,34 dari skala 5.
Namun kebanggaan tidak bisa dibelikan susu untuk anak-anak di rumah. Inilah kontras kehidupan jurnalis: mencintai pekerjaan yang kerap tidak mencintai mereka kembali.
Buku AJI: Potret Jurnalis 2025
Buku AJI: Potret Jurnalis 2025
Etika di Tengah Kekangan, Kompetensi di Tengah Ketimpangan
Riset menunjukkan bahwa mayoritas jurnalis menghargai peran mereka dalam menjaga perdamaian, koreksi informasi, dan memperjuangkan isu publik — skor etika rata-rata mencapai 4,44. Namun mereka juga sadar: idealisme kerap dikalahkan oleh target klik dan tekanan pemilik media. Faktor redaksi, relasi dengan narasumber, hingga kelangkaan sumber daya membuat jurnalis berada dalam posisi serba salah — antara profesionalisme dan tuntutan pragmatisme.
Dari sisi digital, kompetensi jurnalis berada di skor 3,68 — cukup, namun belum ideal. Mereka mahir menggunakan gawai untuk liputan (4,17), tapi lemah di ranah desain dan pemrograman (2,30 untuk web design). Di tengah arus digitalisasi, ini membuat mereka tidak hanya kewalahan dalam produksi, tetapi juga rentan terhadap kekerasan.
Tabel Kekerasan Terhadap Jurnalis
Tabel Kekerasan Terhadap Jurnalis
Kekerasan yang Tak Kunjung Padam
Tiga dari empat jurnalis (75,1%) mengaku pernah mengalami kekerasan — baik fisik maupun digital. Di ranah daring, 51,9% pernah diawasi (stalked), 42,7% menjadi korban fitnah, dan 40,9% mendapat ancaman atau intimidasi. Di ranah fisik, angka serangan mencapai 22,7%, dengan perempuan lebih rentan terhadap kekerasan berbasis gender.
“Banyak yang mengancam saya lewat DM, mengolok wajah saya di kolom komentar. Tapi yang paling menyesakkan justru ketika kantor diam saja,” kata salah satu responden perempuan dari Indonesia timur.
Meski masa depan industri media dinilai “cukup baik” oleh 40,5% responden, ada 26,8% yang merasa suram atau sangat suram. Optimisme lebih tinggi datang dari jurnalis radio (skor 3,53), yang justru bekerja di sektor paling terpinggirkan secara infrastruktur.
Laporan ini bukan sekadar statistik. Ia adalah peringatan sekaligus pengingat bahwa jurnalis Indonesia masih bertahan dalam kabut disrupsi, tekanan politik, dan ketimpangan struktural. Namun mereka juga adalah penjaga harapan — yang terus menulis, menyuarakan, dan menolak bungkam.
Tabel Pandangan Terhadap Masa Depan Media |  IST
Tabel Pandangan Terhadap Masa Depan Media | IST
Menuju Jurnalisme yang Layak dan Merdeka
Laporan ini memberikan rekomendasi strategis: penguatan kompetensi digital, perlindungan jurnalis peliput HAM dan korupsi, revisi UU Ketenagakerjaan untuk jurnalis digital, dan dukungan pada prinsip freedom of expression serta engaged citizenry. Sebab jurnalis bukan hanya profesi. Ia adalah panggilan demokrasi.
Maka tugas kita, sebagai masyarakat yang mengandalkan berita untuk memahami dunia, adalah satu: jangan biarkan jurnalis kita bekerja dalam gelap. Terangi mereka dengan dukungan, perlindungan, dan pengakuan.
Karena tanpa jurnalis yang merdeka, berita hanyalah propaganda yang dibungkus drama. |WAW-JAKSAT

Simak laporan lengkapnya di sini: Buku AJI: Potret Jurnalis-Indonesia 2025