Daniel Frits Maurits Tangkilisan | IST
Daniel Frits Maurits Tangkilisan | IST

JAKARTASATU.COM – Di sebuah pulau kecil di utara Jawa, ombak menyisir pantai dengan damai. Tapi kedamaian itu hanya di permukaan. Di balik birunya laut Karimunjawa, tersimpan jeritan yang nyaris tak terdengar: jeritan seorang aktivis yang divonis karena mengunggah kebenaran.

Namanya Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Seorang karyawan swasta, aktivis lingkungan, sekaligus warga biasa yang tak menyangka bahwa satu unggahan video di media sosial akan menyeretnya ke ruang sidang, ke jeruji tuduhan, dan akhirnya ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

Ia bukan penjahat. Ia bukan penyebar kebencian. Ia hanya manusia yang mencintai lautnya—laut yang kian tercemar oleh tambak udang. Ketika Daniel mengunggah video pantai yang rusak di Karimunjawa, ia hanya ingin dunia tahu bahwa sesuatu yang salah sedang terjadi. Tapi siapa sangka, unggahannya dibalas dengan jerat hukum. Tuduhannya? Menyebarkan ujaran kebencian dan mencemarkan nama baik. Pasal yang digunakan: UU ITE.

Bukan yang baru. Tapi versi lama: UU No. 19 Tahun 2016, yang terkenal dengan istilah “pasal karet”.

Antara Udang, Otak, dan Undang-Undang

Satu kalimat yang jadi persoalan: “Masyarakat otak udang menikmati makan udang gratis sambil dimakan petambak.” Sebuah sindiran, barangkali kasar, namun jauh dari kebencian. Tidak menyebut nama, tidak menyinggung suku, agama, atau ras. Tapi kalimat itu cukup untuk membuat Daniel didakwa.

Awalnya, ia dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE 2016. Namun setelah bertahun-tahun berproses, muncul harapan baru: lahirnya UU ITE 2024, yang pada beberapa bagian telah diperhalus. Rumusan pidananya lebih sempit, ancamannya lebih ringan, dan celah pasal karetnya diklaim telah diperkecil.

Namun ironisnya, Daniel tetap diproses dengan undang-undang lama. Padahal asas hukum pidana menyebut jelas: hukum yang lebih ringan harusnya diberlakukan (Pasal 1 ayat (2) KUHP). Ia pun menggugat ke Mahkamah Konstitusi, bukan untuk dirinya sendiri semata, tapi untuk semua suara yang terancam dibungkam.

Dari Karimunjawa ke Mahkamah

Di Mahkamah Konstitusi, Daniel tak sendiri. Ia diwakili Prof. Dr. Todung Mulya Lubis dan tim pengacara dari LSM Law Firm. Permohonannya sederhana tapi dalam: mohon agar Pasal 27A, 28 ayat (2), 45 ayat (4), dan 45A ayat (2) UU ITE 2024 ditafsirkan secara konstitusional bersyarat—agar tidak menjadi alat pembungkam kebebasan berekspresi dan hak atas lingkungan hidup.

Mahkamah memeriksa. Daniel menunjukkan bahwa ia korban dari pasal karet. Ia membawa bukti-bukti. Ia bukan sekadar pencinta lingkungan, tapi juga warga negara yang hak konstitusionalnya terancam: hak untuk menyuarakan kebenaran, hak untuk menyelamatkan alam, dan hak untuk bebas dari kriminalisasi sewenang-wenang.

Pasal-Pasal yang Menjadi Tanda Tanya

Apa yang dipersoalkan Daniel? Pasal 27A: tentang pencemaran nama baik secara elektronik. Daniel meminta frasa “orang lain” tidak dimaknai sebagai entitas kolektif seperti korporasi atau lembaga publik. Ia juga meminta frasa “menuduhkan suatu hal” hanya bermakna menuduh perbuatan, bukan sekadar hinaan.

Pasal 28 ayat (2): tentang hasutan kebencian. Ia mengkritik frasa “tanpa hak” yang bisa ditafsirkan seolah ada pihak yang punya hak untuk menyebar kebencian. Ia juga menilai unsur “memengaruhi orang lain” terlalu luas dan bisa menjebak siapa saja. Ia tak meminta penghapusan pasal, hanya tafsir yang adil. Karena ia tahu: kebebasan berekspresi bukan kebebasan untuk membenci. Tapi juga bukan alasan untuk menindas suara kritis.

Di tengah sidang MK, tim penggugat juga membawa data global. Tentang bagaimana otoritarianisme menyamar lewat demokrasi. Tentang bagaimana pemimpin populis memanfaatkan UU pencemaran nama baik untuk membungkam kritik. Tentang bagaimana media sosial jadi ladang subur bagi hoaks, tapi juga satu-satunya senjata warga untuk bersuara.

Menurut laporan Freedom House dan Harvard Kennedy School, dunia sedang mengalami kemunduran demokrasi. Di sinilah pentingnya Mahkamah Konstitusi berdiri di tengah: bukan untuk melonggarkan aturan, tapi untuk menjamin keadilan bagi semua.

Putusan yang Dinanti

Dalam permohonannya, Daniel tidak ingin bebas begitu saja. Ia ingin kejelasan. Ia ingin pasal-pasal itu dipagari tafsir. Ia ingin perlindungan, bukan untuk dirinya sendiri, tapi bagi semua aktivis yang setiap hari bersuara demi kebaikan bersama.

Mahkamah belum membacakan amar putusannya saat tulisan ini dibuat. Tapi prosesnya sendiri sudah menjadi pelajaran penting: bahwa bahkan seorang warga dari pulau kecil pun bisa bicara di panggung tertinggi hukum di negeri ini. Bahwa dalam negara hukum, satu suara pun bisa mengguncang sistem, asal ia datang dengan niat tulus dan bukti yang kuat.

Dunia maya memang liar. Tapi bukan berarti negara harus bersikap liar pula. Kebebasan berekspresi bukan ancaman, melainkan fondasi demokrasi. Daniel Tangkilisan, dari sebuah pulau kecil di utara Jawa, telah membuktikan bahwa memperjuangkan kebenaran bukan kejahatan. Yang menjadi kejahatan adalah ketika hukum dijadikan alat untuk membungkamnya. |WAW-JAKSAT