JAKARTASATU.COM – Pada suatu pagi yang belum sepenuhnya terang, di tanggal 1 Mei 2025, seratus orang dengan semangat yang menyala berjalan menuju gedung DPR RI. Mereka bukan buruh pabrik, bukan pula pekerja tambang. Mereka dosen, mahasiswa pekerja, laboran, tenaga kependidikan, dan peneliti kampus—manusia-manusia intelektual yang hari itu memilih jalanan sebagai ruang kuliahnya.
Di antara langkah kaki yang mantap dan spanduk yang dikibarkan, suara yang paling lantang bukanlah teriakan, melainkan kebenaran yang selama ini dibungkam: kampus sedang dalam krisis peradaban.
Serikat Pekerja Kampus (SPK), dalam seruannya, menyuarakan keresahan yang lama terpendam. “Indonesia gelap. Gelap peradaban, gelap masa depan,” demikian mereka menulis. Di balik narasi pembangunan dan jargon modernitas, mereka melihat kampus tidak lagi menjadi benteng kebebasan berpikir, melainkan menjadi arena kekuasaan, eksploitasi, dan pembungkaman.
CPNS Mundur Massal dan Dosen yang Terjebak
Fakta mengejutkan datang dari data: sebanyak 718 Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) memilih mengundurkan diri. Bukan karena tidak butuh pekerjaan, melainkan karena kehilangan kepercayaan pada sistem kerja kampus yang dinilai tidak adil dan tidak transparan.
Lebih dari itu, dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) kini dilarang berserikat. Sebuah ironi ketika profesi yang seharusnya mengajarkan demokrasi, malah dibungkam haknya untuk berorganisasi. Banyak dari mereka bahkan terjebak dalam penahanan surat lolos butuh—sebuah prosedur administratif yang digunakan sebagai alat eksploitasi, membuat mereka tak bisa berpindah kerja, dan tak bisa bersuara.

Ketika Militer Masuk ke Ruang Akademik
SPK menyuarakan satu hal yang mengejutkan namun nyata: masuknya TNI dan Polri ke dalam sistem kampus. Dalam struktur komando militeristik, mereka disebut “turut campur dalam cara berpikir dan pengelolaan universitas”. Bagi SPK, ini bukan hanya salah alamat, tapi juga bahaya laten yang menggerogoti kebebasan akademik dari dalam.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang merdeka berpikir, berubah menjadi benteng disiplin dan kepatuhan. Mahasiswa dibentuk menjadi warga yang hanya tahu satu tafsir: taat. Kreativitas dan daya kritis perlahan terkubur dalam sistem yang tidak memberi ruang untuk menyimpang.
“Upah layak adalah hak, bukan belas kasihan,” tulis SPK dalam pernyataannya. Mereka tidak menuntut lebih, hanya meminta apa yang seharusnya. Namun, kenyataannya, sistem penggajian masih mensyaratkan beban kerja tambahan, target administratif, dan indikator-indikator yang tidak berpihak pada kualitas kerja, melainkan pada kuantitas dokumen.
Dalam konteks ini, SPK menolak sistem karir tunggal versi Permenpan RB Nomor 1 Tahun 2023 yang dianggap membangkitkan kembali semangat patron-klien yang feodalistik. Sementara itu, mereka mendorong implementasi Permendikbud Nomor 44 Tahun 2024 yang lebih berpihak pada otonomi pendidikan dan perlindungan hak pekerja kampus.
Bukan Sekadar Demo, Tapi Pelurusan Arah Bangsa
May Day bagi SPK bukan hanya tentang hak buruh, tapi tentang arah peradaban bangsa. Mereka menyerukan agar kampus dikembalikan ke relnya: tempat pembebasan, bukan penjinakan. Mereka menuntut agar RUU Omnibus Sisdiknas dan RUU Ketenagakerjaan dibuka untuk uji publik—karena masa depan pendidikan dan ketenagakerjaan tidak bisa dibahas diam-diam.
Dengan membawa suara dari balik meja belajar, ruang laboratorium, dan lorong fakultas, SPK menutup seruannya dengan kalimat penuh harapan: “Mari perjuangkan bersama. Berserikat, kita kuat.”
Di Jalan, Mereka Menjadi Guru Sesungguhnya
Kisah ini bukan hanya tentang seratus orang yang turun ke jalan. Ini tentang ribuan yang diam tapi merasakan. Tentang ruang-ruang kuliah yang sunyi karena kebenaran disimpan dalam lemari arsip. Tentang generasi muda yang dibentuk untuk menjadi robot, bukan pemikir.
Di tengah panas aspal dan hiruk-pikuk demonstrasi, para pekerja kampus hari itu memberi kuliah yang sesungguhnya—kuliah tentang keberanian, keadilan, dan hak asasi. Sebab pada akhirnya, mereka tidak sedang melawan negara. Mereka sedang mengingatkan: tanpa kampus yang merdeka, bangsa ini hanya berjalan dalam gelap. |WAW-JAKSAT