Suara-Suara dari Dunia Freelance yang Tak Diakui
JAKARTASATU.COM – Jam dinding berdetak lambat di kamar kos sempit di bilangan Tebet. Seorang penulis naskah muda menyelesaikan revisi terakhir untuk klien yang bahkan tak sempat mengucap “terima kasih”, apalagi membayar tepat waktu. Bukan kisah baru. Ini adalah realita yang sunyi tapi meluas: dunia kerja freelance di Indonesia.
Pada Hari Buruh Internasional 2025, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) angkat bicara. Bukan hanya sebagai suara moral, tetapi sebagai seruan kolektif dari jutaan orang yang bekerja dalam bayang-bayang sistem fleksibel yang kini menjadi wajah baru dari “kemajuan”.
“Pencurian upah adalah bentuk kekerasan ekonomi yang terus diremehkan. Padahal, ini adalah penghinaan langsung terhadap martabat pekerja,” tegas Mia Rosmiati, dari Divisi Advokasi SINDIKASI.
88 Juta di Zona Abu-abu
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada 2024, sebanyak 88 juta orang bekerja di sektor informal. Angka ini melonjak dari 77 juta pada 2021. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja lepas atau mandiri—mereka yang bekerja dari laptop, mengirim draft dari warung kopi, atau merekam podcast dari kamar tidur—tanpa jaminan sosial, tanpa kontrak, dan sering kali tanpa pengakuan.
Lonjakan ini bukan tanpa sebab. Gelombang deindustrialisasi menghantam sektor formal. Banyak pabrik tutup. Di sisi lain, legalisasi sistem kerja fleksibel lewat Undang-Undang Cipta Kerja semakin mengokohkan ketimpangan: investasi dibuka lebar, tapi perlindungan pekerja disusutkan.
UU Dibatalkan, Tapi Jalan Masih Kabur
Mahkamah Konstitusi memang telah membatalkan klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja. Tapi seperti rumah yang diruntuhkan tanpa cetak biru pengganti, belum ada undang-undang baru yang benar-benar berpihak pada pekerja lepas.
Ikhsan Raharjo, Ketua Umum SINDIKASI, menekankan urgensi untuk mengakui hubungan kerja non-standar dalam hukum ketenagakerjaan yang baru.
“Setiap pekerjaan yang dibayar setara atau lebih dari upah minimum harus diwajibkan memiliki perjanjian kerja tertulis. Tanpa itu, keadilan hanya jadi retorika,” katanya.
SINDIKASI tidak sekadar mengeluh. Mereka menuntut langkah konkret: subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja rentan, akses terhadap jaminan pensiun, kemudahan klaim Jaminan Kecelakaan Kerja, hingga perlindungan terhadap risiko psikososial—yang sangat nyata di industri kreatif.
Dan kini, datang ancaman baru: kecerdasan buatan (AI). Teknologi yang di satu sisi menjanjikan efisiensi, tapi di sisi lain berpotensi menggantikan dan mengeksploitasi hasil kerja manusia.
“Teknologi tidak boleh jadi alasan untuk menggantikan manusia. Kebijakan AI harus melindungi hak cipta, identitas, dan karya kreatif,” ujar Ikhsan Raharjo lagi.
Lebih dari Angka, Mereka adalah Nilai
Para freelancer bukanlah catatan kaki dalam laporan ketenagakerjaan. Mereka adalah pencipta nilai, penggerak industri, penjaga inovasi. Tapi selama mereka diperlakukan seperti entitas sementara—yang boleh dibayar semaunya dan diabaikan hukumnya—masa depan dunia kerja kita hanya akan jadi mimpi buruk kolektif.
“Kami tidak akan tinggal diam saat ketidakadilan dianggap hal biasa,” ujar Ikhsan, menutup pernyataan sikap SINDIKASI pada Hari Buruh Internasional 2025.
Dalam sunyi yang berisik, dalam kerja yang tidak terdaftar, para freelancer Indonesia terus menulis, merekam, mengedit, menggambar, memproduksi. Mereka tidak butuh belas kasih. Mereka menuntut keadilan—yang tertulis, yang terikat hukum, dan yang setara.
Karena kerja, sekecil apapun, layak dihargai. Dan karena suara pekerja lepas bukan gema—ia adalah suara utama dari masa depan dunia kerja kita.|WAW-JAKSAT