Index Pembangunan Menakutkan, Rakyat Jangan Cerdas !!
Oleh : Paul MS
Komunitas Pengecer Politik Akal Sehat
Di negeri bernama Republik Indonesia yang kaya akan sumber daya dan kemiskinan yang merata, ada satu hal yang sangat menakutkan bagi para elit politik: rakyat yang cerdas.
Bukan bencana alam, bukan utang negara yang menggunung, bukan juga korupsi yang makin canggih tapi rakyat yang bisa membaca, berpikir, dan bertanya. Apalagi kalau mereka tahu apa itu Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia ukuran sederhana tapi berbahaya yang mencatat seberapa sehat, seberapa pintar, dan seberapa sejahtera sebuah bangsa.
Bayangkan bila indeks itu naik terus. Artinya, makin banyak rakyat hidup layak, punya pendidikan tinggi, dan tahu hak-haknya. Astaga, ngeri sekali.
Karena dalam sistem politik elektoral kita yang megah tapi retak, kebodohan massal adalah fondasi kekuasaan. Rakyat yang lapar lebih mudah dikendalikan. Rakyat yang kurang sekolah lebih mudah dikibuli. Dan rakyat yang sibuk bertahan hidup tidak punya waktu untuk memikirkan dengan kritis siapa yang duduk di kursi kekuasaan dan berbuat apa?
Pada suatu masa, datanglah seorang pemimpin dengan gaya sederhana. Namanya Jokowi. Rakyat memujanya: tukang kayu dari Solo yang menembus istana. Ia tampil sebagai antitesis dari kemapanan elite lama. Lalu ia meluncurkan sebuah slogan yang menggugah: Revolusi Mental. Wah, kata-kata itu seperti hujan di musim kemarau bagi bangsa yang lelah dibodohi.
Tapi rupanya, revolusi mental itu hanya bagus sebagai spanduk, pidato dan jargon. Sebab jika nanti efeknya mulai terasa, ketika rakyat mulai berpikir dan bertanya, ketika beberapa mulai terlalu pintar untuk dikibuli, Jokowi pun tampak ragu. Ia sadar, jika revolusi ini benar-benar berjalan, ia bisa kehilangan senjata utamanya: pencitraan.
Maka program itu ditinggalkan, tak ubahnya janji kampanye lainnya. Terlalu berisiko untuk masa depan elektoralnya. Toh, lebih aman tampil di depan kamera sambil blusukan mendadak ke pasar dikawal influencer sosmed berbayar, dibanding menjawab pertanyaan kritis soal kegagalan distribusi pangan dll. Karena dalam dunia politik yang dijalani Jokowi, kesan lebih penting dari kenyataan.
Dan jangan lupakan senjata paling ampuh dalam kotak alat pencitraan ini: lembaga survei berbayar.
Mereka inilah para seniman angka. Dengan kuas data dan tinta statistik, mereka melukis langit agar terlihat selalu cerah, bahkan saat rakyat kehujanan. Jika seorang pemimpin disorot gagal, mereka hadir dengan rilis yang menyatakan “tingkat kepuasan publik mencapai 80%”. Jika ekonomi memburuk, mereka akan bilang “mayoritas masyarakat optimistis menghadapi masa depan”.
Dan tentu saja, mereka tak bekerja sendirian. Ada sponsor, ada kontrak, ada target dan ada Invoice. Yang penting bukan fakta, tapi narasi. Angka bukan untuk memahami realitas, tapi untuk mengendalikan persepsi. Jika HDI terlalu rendah? Tenang, akan ada framing bahwa ini warisan rezim sebelumnya.
Mereka adalah tukang sulap demokrasi. Dan di panggung ini, realitas hanya pengganggu. Maka bila rakyat tiba-tiba mulai mengakses data, membandingkan hasil survei dengan fakta lapangan, lalu menyadari bahwa yang diklaim bahagia ternyata mengantre beras bansos itu adalah kiamat kecil bagi para surveyor.
Jadi, jangan heran jika elite politik kita terlihat lebih takut pada diskusi kritis dikzmpus dan demonstrasi, daripada ormas preman. Lebih khawatir pada kurikulum yang membebaskan berpikir daripada kritik sosial. Karena begitu rakyat sadar bahwa mereka tak sebodoh yang dibayangkan, semua topeng akan runtuh. Termasuk topeng “pemimpin rakyat” yang dibangun dengan narasi murah, senyum media, dan statistik palsu.
Maka, sebagai bentuk solidaritas terhadap stabilitas politik yang dibangun di atas fondasi kebohongan, mari kita dukung strategi kebangsaan berikut:
Biarkan rakyat sibuk bekerja siang malam demi tiga piring nasi.
Ciptakan pengalihan isue untuk melindungi.
Tampilkan selebriti dan joget TikTok sebagai penyejuk jiwa, dan biarkan rakyat bertengkar.
Bungkus kegagalan program dengan pidato menyentuh.
Dan yang terpenting: pastikan pendidikan hanya cukup untuk membaca nama calon di kertas suara, tidak lebih.
Dan seperti biasa, kita tutup dengan doa kebangsaan yang penuh harapan:
Ya Tuhan, jangan Kau berikan kami rakyat yang cerdas. Sebab jika mereka melek data, tahu hak, dan bisa berpikir, habislah sudah panggung kami yang gemerlap ini. Amin.
SEKIAN