Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis
Stop Kekerasan Terhadap Jurnalis
JAKARTASATU.COM – Di bawah langit sore Jakarta yang mulai memerah, di depan gerbang Gedung DPR RI, suara peluit dan megafon baru saja reda. May Day—hari yang semestinya menjadi perayaan solidaritas buruh—berubah menjadi panggung kekerasan. Bukan hanya terhadap demonstran, tapi juga terhadap mereka yang bertugas merekam sejarah: para jurnalis.
Y, jurnalis muda dari ProgreSIP, berdiri di tengah kerumunan yang membubarkan diri, kamera masih menyorot wajah-wajah lelah para buruh. Ia tak sedang berorasi. Tak membawa spanduk. Ia hanya bekerja. Namun sekitar pukul 17.25 WIB, di depan Talaga Senayan, tiba-tiba ia diteriaki “Anarko!” oleh beberapa pria berpakaian bebas.
Yang terjadi kemudian lebih mirip adegan perampokan ketimbang prosedur keamanan: sekitar sepuluh orang pria—diduga kuat anggota polisi—menarik, mencekik, memukul, dan memiting Y. Ia telah menunjukkan kartu persnya. Namun itu tak menghentikan kekerasan yang datang seperti gelombang. Lebih ironis lagi, bukan hanya tubuh Y yang mereka incar. Kamera dan kantong-kantong bajunya pun digeledah. Mereka menuntut rekaman dihapus. Dan di tengah kekacauan itu, hukum pun tampak gamang.
Yang menyelamatkan Y dari amukan itu bukan sesama aparat, bukan pula sistem perlindungan wartawan, melainkan seorang warga sipil bernama Andi yang mengaku dari LBH Rahadian. Ia datang, meneriakkan satu hal sederhana namun tampaknya terlalu berat untuk diingat: “Dia jurnalis!”
Kejadian ini hanyalah satu dari sekian banyak serangan terhadap jurnalis yang terus berulang dari tahun ke tahun. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta dan LBH Pers langsung merespons tegas: mengecam, mengutuk, dan mendesak pertanggungjawaban.
Kekerasan yang Terus Berulang
Sepanjang 2025, baru empat bulan berjalan, AJI mencatat 36 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Sementara dalam satu bulan saja, saat demonstrasi menolak RUU TNI pada Maret lalu, terjadi 18 kasus kekerasan terhadap jurnalis di berbagai kota. Tahun sebelumnya, 73 kasus telah tercatat, dengan bentuk kekerasan paling dominan adalah kekerasan fisik (20 kasus).
Pelaku terbanyak? Kepolisian. Sepanjang 2024, 19 kasus dari aparat kepolisian. Sisanya: anggota TNI, ormas, aparat pemerintah, orang tak dikenal, hingga perusahaan.
Statistik ini bukan sekadar angka. Di baliknya ada trauma, luka, dan terkadang kehilangan kepercayaan terhadap negara yang semestinya melindungi.
Suara AJI dan LBH Pers 

Menanggapi insiden pengeroyokan terhadap jurnalis Y, AJI Jakarta dan LBH Pers mengeluarkan enam poin sikap tegas:

  1. Mengecam dan mengutuk intimidasi serta kekerasan terhadap jurnalis.
  2. Mendesak Kapolri dan Kapolda Metro Jaya beserta jajarannya untuk mengusut kasus ini dan menghentikan praktik yang menghalangi kerja jurnalis sebagaimana dilindungi oleh Pasal 18 ayat (1) UU Pers No. 40 Tahun 1999.
  3. Mendesak pelarangan penggunaan pakaian bebas oleh polisi saat mengawal demonstrasi. Tanpa identitas resmi, pengawasan jadi mustahil, dan kekerasan mudah disamarkan.
  4. Mengimbau semua pihak untuk menghormati kerja jurnalistik dan kebebasan pers sebagai bagian dari demokrasi yang sehat, sebagaimana dilindungi Pasal 8 UU Pers No. 40/1999.
  5. Meminta kantor media menjamin keselamatan jurnalisnya di lapangan, terutama dalam situasi rawan.
  6. Mengingatkan tentang hak jawab, bahwa jika ada pihak merasa dirugikan oleh pemberitaan, mereka dapat menggunakan mekanisme hukum yang sah, bukan dengan intimidasi dan kekerasan.
Menolak Lupa, Menolak Bungkam
Jurnalis bukan pahlawan. Mereka tak kebal kritik. Tapi mereka juga bukan musuh negara. Dalam kerja-kerja lapangannya, jurnalis menjalankan fungsi publik: mencatat, menyampaikan, dan menjaga agar demokrasi tidak berkarat di balik pagar-pagar kekuasaan.
Menghajar jurnalis karena tak suka diliput adalah sama dengan merobek jantung demokrasi. Lebih dari sekadar luka fisik, insiden seperti ini menanamkan ketakutan yang dalam: bahwa kebenaran pun bisa dikejar dan dipukul jika tak cocok dengan kuasa.
Y kini sedang memulihkan diri—secara fisik maupun mental. Tapi luka yang ia bawa bukan miliknya sendiri. Itu adalah luka kolektif dari sebuah bangsa yang belum selesai berdamai dengan kebebasan persnya sendiri. Dan setiap kali seorang jurnalis dibungkam dengan kekerasan, kita semua sebenarnya sedang kehilangan suara. |WAW-JAKSAT