ig@caklontong
ig@caklontong

Komedi dan Komisaris Bukan Dua Dunia yang Tak Bisa Kawin Lari

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller

 

“Jika kamu tidak bisa meyakinkan mereka dengan fakta, bingungkan mereka dengan guyon.” — Harry S. Truman
Selamat datang di negeri +62, tempat meritokrasi dijemur di bawah matahari tropis, lalu disiram air kelapa muda, dan disajikan dengan sambal balas budi. Kali ini, kita semua disuguhi satu pertunjukan besar nan penuh tawa: pengangkatan Cak Lontong—komedian sekaligus mantan ketua tim sukses Pramono Rano Karno—menjadi Komisaris Ancol.
Seketika, publik gaduh. Bukan karena takut akan tsunami, tetapi karena kebingungan massal: Apakah ini lucu? Serius? Atau serius tapi lucu? Cak Lontong sendiri bilang ada “seleksi ketat”—dan siapa kita yang berani membantah orang yang menang debat dengan logika absurd dalam lima detik?
Dari Panggung Komedi ke Ruang Rapat Komisaris
Kabar ini pertama kali mencuat dari portal-portal berita seperti Kompas dan Detik. Gaya penyampaiannya nyaris seperti naskah lawakan. “Cak Lontong jadi Komisaris Ancol.” Titik. Bukan titik dua. Karena kalau ada titik dua, takutnya nanti disangka punchline.
Namun kemudian muncullah klarifikasi. Katanya seleksi dilakukan secara profesional, penuh kehati-hatian, dan pastinya penuh tawa dalam diam. Apakah Cak Lontong kompeten? Ya, jika kita sepakat bahwa humor adalah soft diplomacy terbaik dan tawa adalah bentuk tertinggi dari stabilitas sosial. Plato sendiri bilang, “He who tells the stories rules the society.” Jadi kalau begitu, Cak Lontong bisa saja jadi menteri storytelling kelautan.
Komisaris, Cuan, dan Cuitan
Secara teori, komisaris dalam BUMD bukan sekadar penikmat nasi kotak saat rapat. Ia adalah representasi pemegang saham yang mengawasi, memberi nasihat strategis, dan—idealnya—bisa baca neraca. Tapi tentu kita bukan bangsa yang mengidolakan teori. Kita adalah bangsa “yang penting orangnya baik dan lucu”. Karena kita tahu, membaca laporan keuangan itu susah. Tapi tertawa bersama komisaris yang bisa bikin stand-up? Itu priceless.
Dan publik pun bertanya: Apakah ini murni meritokrasi atau sekadar balas budi?
Jawabannya bisa ditemukan dalam kitab klasik perpolitikan Indonesia: “The Art of Bagi-Bagi Jabatan.” Menurut Prof. Latarbelakang S.H., M.Hum., Ph.D (bukan nama asli, tapi sangat kredibel kalau ditulis di spanduk wisuda), “Di Indonesia, meritokrasi tidak pernah mati. Ia hanya sering jatuh cinta pada orang yang berjasa.”
Meritokrasi dan Balas Budi: Sebuah Tragedi Romantis
Cak Lontong adalah ketua timses yang sukses. Mengantarkan Pramono Rano Karno jadi Gubernur Jakarta. Dan di negeri ini, balas jasa itu ibarat bubur ayam—boleh diaduk, boleh tidak. Tapi tetap harus disajikan.
Kita teringat pada tulisan Max Weber soal patrimonial bureaucracy, di mana penguasa memberi jabatan berdasar loyalitas, bukan kemampuan. Tapi Weber tidak hidup di Indonesia, jadi dia tidak pernah tahu bahwa loyalitas dan lelucon bisa jadi satu paket.
Sementara itu, menurut Dr. Effendi Ghazali, pakar komunikasi politik yang wajahnya lebih sering muncul dari komisaris-komisaris itu sendiri, “Publik akan menilai bukan dari siapa yang diangkat, tetapi dari apa yang dia hasilkan.” Sayangnya, masyarakat kita lebih mudah menilai dari meme.
Ancol dan Republik Guyon
Ancol bukan sekadar tempat hiburan. Ia adalah simbol peradaban pesisir yang mencoba bertahan dari badai nepotisme, gelombang politisasi, dan tsunami selfie. Ketika komisarisnya seorang komedian, maka publik pun merasa ini seperti serial Black Mirror versi Betawi.
Tapi mari kita adil. Cak Lontong bukan orang sembarangan. Dia sarjana teknik elektro, pernah masuk dunia korporat, dan punya integritas personal yang lebih stabil dari mayoritas buzzer politik. Mungkin justru inilah langkah revolusioner: membuktikan bahwa komedi dan komisaris bukan dua dunia yang tak bisa kawin lari.
Mungkin ini saatnya kita menerima kenyataan bahwa di negeri ini, jalan menuju kekuasaan tidak hanya melalui CV, tapi juga melalui jokes. Cak Lontong pernah berkata, “Kalau kamu tidak mengerti masalah, berarti kamu bagian dari solusi.” Sebuah kutipan yang secara tak sengaja menjelaskan 70% pejabat negeri ini.
Jadi, apakah pengangkatan ini bentuk meritokrasi atau balas budi? Jawaban paling logis adalah: Ya. Karena di republik penuh ironi ini, kebenaran bukan hitam atau putih—melainkan gradasi kelabu yang sering dipoles dengan tawa. Dan seperti kata George Orwell, “Dalam masa penipuan universal, mengatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner.” Tapi kadang, melempar lelucon bisa lebih mematikan daripada demonstrasi.
Dan kita pun tertawa. Entah karena lucu. Atau karena kalau tidak tertawa, kita bisa gila. Karena yang tidak bisa dibuat transparan, sebaiknya dibuat lucu, setuju? []