MEMBACA INDONESIA DARI PARA TOKOH BANGSA
(catatan tentang jakartasatu.com)
KAMI percaya, Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam. Yang sering hilang justru sumber daya pemikiran—nalar jernih, keberanian bersikap, dan keteguhan prinsip yang lahir dari cinta tanah air sejati saat ini.
Maka Jakartasatu.com mengambil posisi tegas: berpihak pada yang benar, bukan pada yang berkuasa. Media Merdeka, Bangsa Merdeka Media harus merdeka jika ingin bangsanya waras.
Di negeri ini, terlalu banyak media menjadi corong kekuasaan, terlalu banyak berita menjadi iklan yang dibungkus seolah kebenaran. Kami menolak tunduk pada logika itu. Jakartasatu memilih jalan yang tidak populer: jalan akal sehat, jalan kritik, jalan kejujuran.
Kami tidak dibangun untuk menyenangkan penguasa. Kami dibangun untuk mengoreksi, menyorot yang gelap, dan menyalakan kembali api keberanian berpikir.
Bagi kami Kritik Adalah Cinta Kami percaya: Kritik adalah bentuk tertinggi dari cinta kepada bangsa. Keberanian menyuarakan yang tak nyaman adalah tugas sejarah media. Maka kami akan terus menulis, terus membongkar, terus bertanya, dan terus mencari yang kehilangan arah agar arah yang lurus.
Kami akan bicara tentang korupsi, kemunafikan politik, krisis etika, dan peluruhan nilai kebangsaan. Karena diam adalah pengkhianatan, dan membungkam diri adalah awal kematian republik. Menjadi Penafsir Zaman Jakartasatu bukan media pengikut. Kami tidak menunggu tren untuk bicara. Kami justru akan membaca tanda-tanda zaman, memahami arah sejarah, dan menyalakan obor agar publik tak tersesat dalam kabut propaganda.
Kami ingin menghadirkan kembali kekuatan pemikiran dalam ruang publik—dari jalanan hingga kampus, dari ruang diskusi rakyat hingga meja elite.
“Bangsa Besar Tidak Pernah Diam: Indonesia dan Jejak Diplomasi Intelektual” Indonesia bukan bangsa kecil yang lahir dari kebetulan sejarah. Ia muncul dari pertarungan panjang: darah, gagasan, dan perdebatan.
Jika dunia hari ini memandang Indonesia sebagai kekuatan regional, maka itu bukan hasil dari kekayaan alam semata, tetapi buah dari keberanian para pemikir bangsa yang sejak awal menempatkan diplomasi, intelektualitas, dan harga diri nasional di garda depan perjuangan.
Sejak proklamasi, diplomasi Indonesia tak pernah remeh. Dari Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Agus Salim, Soedjatmoko, hingga Soekarno, semua memahami bahwa merdeka tidak cukup hanya dengan bambu runcing—tapi juga dengan kecerdasan berdiplomasi, dengan kata-kata yang tepat, dan dengan narasi yang membangun kepercayaan dunia. Sutan Sjahrir punya pandangan: Moralitas dan Pikiran di Meja Dunia Sebagai Perdana Menteri pertama Republik ini, Sutan Sjahrir adalah wajah intelektual Indonesia yang pertama kali diperkenalkan kepada dunia internasional.
Ia tampil bukan sebagai agitator, melainkan sebagai pemikir dengan etika politik yang tinggi. Sjahrir percaya bahwa: “Revolusi Indonesia haruslah revolusi yang cerdas, berkepribadian dan berbudi pekerti.” Ia membawa pendekatan rasional dalam menghadapi Belanda dan Sekutu, sehingga posisi Indonesia tidak terlihat liar, melainkan beradab dan matang. Dunia mulai percaya pada Republik karena kehadiran Sjahrir yang berbicara dalam bahasa yang bisa dimengerti peradaban global: bahasa akal sehat dan kemanusiaan.
Mohammad Hatta: Visi Jangka Panjang Bangsa Merdeka Hatta, sang proklamator dan wakil presiden, tidak hanya mengawal diplomasi formal, tapi juga membangun dasar moral bahwa Indonesia adalah bangsa yang tahu tujuan. Dalam salah satu pidatonya, ia berkata: “Kemerdekaan bukanlah tujuan akhir, tetapi pintu untuk mencapai kehidupan bangsa yang adil dan makmur.”
Hatta tidak sekadar berdiplomasi, ia merancang arah. Ia memastikan bahwa setiap langkah ke luar negeri adalah bagian dari misi besar: menyejahterakan rakyat, memperkuat karakter, dan menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Agus Salim dalam Bahasa dan Martabat Bangsa Haji Agus Salim adalah simbol kekuatan moral dan keluwesan diplomasi. Menguasai banyak bahasa, ia mampu berbicara di forum-forum internasional dengan wibawa luar biasa. Namun lebih dari itu, ia mengajarkan bahwa martabat bangsa tidak boleh ditawar:
“Diplomasi adalah seni mempertahankan kehormatan tanpa mengangkat senjata.” Agus Salim membuat dunia melihat bahwa bangsa ini punya sopan santun, tapi tidak tunduk. Punya bahasa halus, tapi bersikap tegas.
Soedjatmoko: Pemikir Global dari Timur Soedjatmoko adalah diplomat-cerdas yang mengantarkan Indonesia ke dalam diskursus dunia pascakolonial. Ia percaya bahwa negara-negara baru seperti Indonesia tidak cukup hanya merdeka secara formal, tapi juga harus merdeka secara pikiran. Ia menulis: “Masa depan dunia bergantung pada kemampuan bangsa-bangsa baru untuk berpikir secara bebas dan bertindak secara adil.” Ia tidak hanya membawa Indonesia ke forum PBB, tapi juga ke ruang-ruang filsafat dan masa depan. Soedjatmoko mengajak kita untuk menjadi bangsa pemikir, bukan hanya bangsa bereaksi.
Soekarno, banpak bangsa ini jelas, Kharisma dan Keberanian Politik Global Dan tentu, Bung Karno, orator ulung yang menjadikan diplomasi Indonesia bersinar di era Perang Dingin. Dalam Konferensi Asia-Afrika 1955, ia memperkenalkan politik luar negeri bebas aktif yang membuat Indonesia berdiri sejajar, tidak membebek kepada blok manapun. Ia berkata tegas: “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.
”Bung Karno tidak hanya membawa pesan, tapi membawa semangat zaman. Ia menjadikan Indonesia bukan pengekor sejarah, melainkan pencipta sejarah.
Refleksi Zaman Kini Namun kini, kita harus bertanya dengan jujur: di mana suara diplomasi Indonesia hari ini? Apakah kita masih dipandang sebagai bangsa pemikir dan berkarakter, atau hanya sebagai pasar politik dan ekonomi?
Apakah diplomat kita hari ini masih mengusung idealisme seperti dulu, atau sekadar sibuk membaca teks tanpa ruh?
Tan Malaka, pemikir radikal yang juga guru bangsa, pernah mengingatkan: “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda.” Dan jika bangsa ini ingin terus dihormati di mata dunia, maka idealisme itu harus kembali menjadi nafas diplomasi kita. Kita butuh diplomat-pemikir, bukan hanya negosiator teknis. Kita butuh pemimpin yang membawa gagasan, bukan sekadar protokol.
Dunia Masih Melihat Kita
Dunia belum menutup mata pada Indonesia. Masih banyak harapan bahwa negeri ini bisa kembali menjadi pemimpin moral di tengah dunia yang gaduh. Tapi itu hanya mungkin jika kita kembali kepada akar: kepada Sjahrir, Hatta, Salim, Soedjatmoko, Bung Karno—dan kepada jiwa bangsa yang cerdas, berani, dan bermartabat. Bangsa besar tidak pernah diam. Ia berbicara lewat pikiran dan sikap. Kini waktunya Indonesia bicara lagi. Bukan hanya di forum internasional, tapi di dalam jati diri kita sendiri.
Kami di Jakartasatu di tengah tantangan zaman saat ini di tengah dunia yang makin gaduh dan dijejali suara-suara bising, media tidak cukup hanya menjadi penyampai kabar. Ia harus menjadi penafsir zaman, penajam akal sehat, dan penjaga arah moral bangsa. Itulah sebabnya Jakartasatu hadir dan akan terus berdiri—bukan sebagai pelengkap lanskap media, tapi sebagai penantang arus sesat pikir dan penjaga nalar publik. Kami percaya, Indonesia tidak kekurangan sumber manusia yang piawai, daya pemikiran—nalar jernih, keberanian bersikap, dan keteguhan prinsip yang lahir dari cinta tanah air sejati.
Bukan Sekadar Media Kami adalah bagian dari perjuangan membangun republik yang bermartabat. Kami tahu tugas ini berat. Tapi kami tidak ingin bangsa ini hidup dalam kepalsuan abadi. Kami bukan media yang memburu klik. Kami adalah media yang ingin membentuk klik kesadaran baru di kepala rakyat. Karena bangsa besar hanya mungkin lahir dari pikiran yang bebas, dari rakyat yang sadar, dan dari media yang berani. Maka kami MEMBACA INDONESIA DARI PARA TOKOH BANGSA yang disebut itu masih bnayak tokoh-tokoh lainnya dan ….tentu tak ada salahnya membaca lembali pemikirannya, Tabik….*** (RED-JAKSAT)