Konferensi Pers Pasca Peluncuran Prinsip-Prinsip Global Integritas Informasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, oleh Antonio Guterres - Sek-Jen PBB dan Melissa Fleming - kepala Departemen Komunikasi Global PBB, dengan moderator Stéphane Dujarric - juru bicara Sek-Jen PBB. (United Nations)
Konferensi Pers Pasca Peluncuran Prinsip-Prinsip Global Integritas Informasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, oleh Antonio Guterres - Sek-Jen PBB dan Melissa Fleming - kepala Departemen Komunikasi Global PBB, dengan moderator Stéphane Dujarric - juru bicara Sek-Jen PBB. (United Nations)
JAKARTASATU.COM – Di Gaza, suara peluru lebih nyaring dari suara pena. Di ruang digital, algoritma lebih berkuasa dari akal sehat. Di dunia yang kian terpolarisasi, kebenaran kini bukan hanya diburu—tapi juga dibungkam. Dan di tengah gelap itu, Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 datang sebagai pengingat: tanpa jurnalisme yang bebas, kita semua berjalan tanpa cahaya.
Setiap 3 Mei, dunia merayakan — atau tepatnya, mengingat — bahwa kebebasan masyarakat tak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari keberanian jurnalis yang menulis, menyuarakan, menyelidik… meski kerap tak kembali.
Sekretaris-Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, António Guterres, dalam pesan resminya menegaskan satu prinsip tak tergantikan:
“Di tengah dunia yang dilanda konflik dan perpecahan, Hari Kebebasan Pers Sedunia menyoroti satu kebenaran mendasar: kebebasan masyarakat bergantung pada kebebasan pers. Jurnalisme yang bebas dan independen adalah barang publik yang esensial. Ia menjadi tulang punggung dari akuntabilitas, keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia.”
Kebenaran yang Tak Lagi Aman
Namun, jurnalisme hari ini semakin kehilangan ruang aman. Jurnalis, kata Guterres, “harus dapat melaporkan secara bebas, tanpa rasa takut atau tekanan.” Sebab ketika mereka dibungkam, publiklah yang paling merugi.
“Ketika jurnalis tidak dapat bekerja, kita semua yang merugi. Tragisnya, pekerjaan ini semakin sulit dan berbahaya setiap tahunnya. Para jurnalis menghadapi serangan, penahanan, sensor, intimidasi, kekerasan, bahkan kematian — semata-mata karena menjalankan tugas mereka. Kita menyaksikan peningkatan tajam jumlah jurnalis yang terbunuh di wilayah konflik — terutama di Gaza.”
Kata-kata ini bukan sekadar pernyataan normatif. Mereka mewakili realitas pahit: menjadi jurnalis di abad ke-21 adalah menjadi penjaga peradaban yang terus dihantui ancaman.
Kecerdasan Buatan: Pedang Bermata Dua
Ancaman terhadap kebebasan pers tak lagi hanya datang dari senapan dan sensor negara. Dunia kini menghadapi fenomena baru yang lebih kompleks dan senyap: kecerdasan buatan.
“Dan kini — sebagaimana diingatkan oleh tema tahun ini — kebebasan pers menghadapi ancaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kecerdasan buatan dapat mendukung kebebasan berekspresi — atau justru membungkamnya. Algoritma yang bias, kebohongan terang-terangan, dan ujaran kebencian menjadi ranjau di jalan raya informasi.”
Dalam ekosistem digital yang dikuasai oleh logika klik dan trending, informasi palsu dan disinformasi tak hanya beredar, tapi memimpin. Maka, sebagaimana ditegaskan Guterres:
“Informasi yang akurat, dapat diverifikasi, dan berbasis fakta adalah alat terbaik untuk menetralisirnya.”
Menuju Ruang Digital yang Lebih Manusiawi
Sebagai respons global, dunia internasional kini tengah membangun fondasi baru melalui Global Digital Compact, yang diadopsi tahun lalu. Kompak ini bukan sekadar dokumen, tapi langkah konkret untuk memperkuat kerja sama lintas negara dalam mempromosikan integritas informasi, toleransi, dan saling menghormati di ruang digital.
“Kecerdasan buatan harus dibentuk dengan cara yang sejalan dengan hak asasi manusia dan menempatkan kebenaran sebagai prioritas. Prinsip Global untuk Integritas Informasi yang saya luncurkan tahun lalu turut mendukung dan memperkuat upaya ini menuju ekosistem informasi yang lebih manusiawi.”
Menyalakan Lilin, Bukan Menambah Kegelapan
Hari Kebebasan Pers bukanlah ritual. Ia adalah alarm moral bahwa setiap kali kebenaran disusupi, publiklah yang akhirnya dikorbankan. Dunia yang sehat adalah dunia yang memungkinkan jurnalis bekerja—bukan dunia yang membuat mereka takut.
“Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia ini,” kata Guterres menutup pesannya, “mari kita berkomitmen untuk mewujudkan hal tersebut dan melindungi kebebasan pers di seluruh dunia.”
Dan bagi kita semua — jurnalis, pembaca, pemimpin, pengguna media sosial — komitmen itu bukan pilihan. Ia adalah kewajiban sejarah.
Karena dalam dunia yang semakin bising dan penuh bias, suara yang paling dibutuhkan adalah yang paling sulit didengar: suara kebenaran. |WAW-JAKSAT