Demo May Day 2025 | YLBHI
Demo May Day 2025 | YLBHI

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Serukan Untuk Hentikan Upaya Kriminalisasi dan Bebaskan Massa Aksi!

JAKARTASATU.COM – Pagi itu, mentari belum benar-benar garang saat massa aksi mulai merapat di depan Gedung DPR. Spanduk-spanduk terangkat tinggi, suara orasi menggema, dan lagu-lagu perjuangan mengalun dari pengeras suara. Mereka datang membawa tuntutan sederhana: hak atas hidup yang layak sebagai pekerja di negeri yang mereka bangun saban hari.
Tapi harapan akan ruang demokrasi itu cepat berubah menjadi mimpi buruk.
Sejak pukul 08.20 WIB, aparat kepolisian mulai bertindak. Bukannya melindungi hak konstitusional warga, mereka justru menyaring massa dengan penggeledahan sewenang-wenang. Mahasiswa dituduh sebagai bagian dari “kelompok anarko” hanya karena penampilan—tanpa dasar hukum, tanpa prosedur. Seolah-olah demokrasi hari ini bisa digilas oleh prasangka belaka.
Paramedis Dipukul, JPO Dipagari, Kamera Dipukul Mundur
Dalam kericuhan yang kian memuncak, kekerasan justru menyasar yang seharusnya dilindungi. Empat dari 14 orang yang ditangkap ternyata adalah tenaga medis yang tengah berjaga di posko kesehatan. Mereka dipukul—di bagian kepala dan leher. Tidak sedang melempar batu. Tidak sedang provokasi. Mereka hanya mengulurkan bantuan. Tapi justru itulah yang membuat mereka jadi target.
Seorang jurnalis yang mencoba merekam peristiwa malah dihalang-halangi. Kamera dipukul. Liputan dihentikan. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tak berarti di hadapan sepatu lars dan seragam yang kehilangan etikanya. Hak publik atas informasi dirampas di tempat terbuka, di siang bolong.
Dan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO)—yang harusnya jadi milik semua orang—diblokade dengan kawat berduri. Sebuah simbol sunyi tentang bagaimana negara menutup jalan dialog dan menggantikannya dengan logika represi.
Kekerasan Seksual dan Aparat Tanpa Identitas
Di antara jerit dan gas air mata, seorang peserta aksi perempuan mengalami kekerasan seksual. Secara fisik maupun non-fisik. UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual seakan tak hadir di lapangan. Di hadapan aparat yang tak berseragam resmi dan tak menunjukkan identitas, hukum jadi sekadar pasal kosong dalam kitab tebal yang berdebu.
Ironisnya, beberapa dari mereka justru berpakaian seperti massa aksi—membaur tanpa niat melindungi. Ini bukan penyamaran demi keamanan; ini adalah infiltrasi yang melecehkan prinsip profesionalisme dan menodai esensi demokrasi.
Akses Hukum Dihambat, Pemeriksaan Ilegal Dini Hari
Malam menjelang, tapi drama tak selesai. Nama-nama yang ditangkap baru diumumkan pukul 21:00 WIB. Pengacara dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) diminta menyerahkan ponsel kerja—tanpa alasan hukum. Sementara itu, ponsel peserta aksi disita, menghalangi mereka menghubungi keluarga dan penasihat hukum. Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik pun diabaikan.
Dan ketika mereka diperiksa, tes urin dilakukan paksa, data pribadi diminta tanpa dasar. Pemeriksaan berlangsung hingga pukul 05:00 dini hari, bahkan terhadap korban luka berat yang sudah diminta beristirahat oleh dokter. Rumah sakit? Baru diizinkan setelah perdebatan panjang. Negara seperti lupa bahwa korban punya hak untuk dipulihkan, bukan diinterogasi tanpa henti.
Demokrasi yang Diberangus Secara Sistematis
Pembubaran aksi pukul 17:00 WIB dilakukan tanpa peringatan hukum. Gas air mata dan water cannon mewarnai udara. Padahal massa masih bernyanyi, hiburan musik masih berlangsung. Tapi seperti sudah sering terjadi, suara rakyat dianggap gangguan, bukan aspirasi.
Ini bukan sekadar tindakan represif. Ini adalah upaya pemberangusan kebebasan berekspresi yang terang-benderang. Dan ketika negara mulai takut pada rakyat yang menyanyi, maka ada sesuatu yang sangat keliru dalam nalar kekuasaan.
Seruan Terakhir: Pulihkan Hukum, Pulihkan Kemanusiaan
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyampaikan sikap tegas:
  • Proses penangkapan dan pemeriksaan harus dibatalkan karena cacat hukum.
  • Kepolisian harus dihentikan dari praktik brutal yang merendahkan martabat manusia.
  • Jurnalis, paramedis, dan peserta aksi harus dilindungi, bukan jadi sasaran.

TAUD mendesak Kapolda Metro Jaya membebaskan 13 orang yang masih ditahan, dan lembaga-lembaga seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, serta Propam Polri untuk menginvestigasi dan mengambil tindakan nyata.

May Day 2025 harusnya jadi panggung solidaritas, bukan arena kekerasan. Tapi justru dari luka dan lebam itulah kita diingatkan: bahwa demokrasi bukan sesuatu yang bisa diwariskan begitu saja. Ia harus terus diperjuangkan—meski dengan risiko diseret, dipukul, atau dibungkam.

Dan selama masih ada yang berani berdiri, menyuarakan yang benar, menuliskan yang nyata—kita belum kalah. Sebab dalam sejarah peradaban, kekuasaan yang takut pada buruh yang bernyanyi hanyalah kekuasaan yang rapuh. Dan rakyat yang tidak gentar, adalah demokrasi itu sendiri. |WAW-JAKSAT