Ilustrasi
Ilustrasi

Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Kecam Kekerasan Aparat Terhadap Jurnalis Saat Meliput Demo Hari Buruh

JAKARTASATU.COM – Di hari buruh yang seharusnya jadi panggung suara rakyat, justru mikrofon dibungkam dan kamera dibanting. Para jurnalis, yang datang bukan untuk memprovokasi tapi mencatat sejarah, justru harus pulang dengan memar di tubuh dan luka di jiwa.
Kamis, 1 Mei 2025. Langit Jakarta tampak biasa saja, tapi atmosfir di depan Gedung DPR RI menggigilkan nalar demokrasi. Aksi demonstrasi menyambut Hari Buruh berlangsung penuh semangat. Namun di tengah gemuruh tuntutan dan orasi, suara penting lainnya justru hendak dimatikan—suara jurnalisme.
Seorang jurnalis dari media independen ProgreSIP mengalami pengeroyokan. Tak hanya dipukuli, ia juga diancam dan dipaksa menghapus hasil liputan. Pelakunya? Sekelompok orang berpakaian sipil yang diduga kuat adalah aparat kepolisian. Kejadian ini bukan satu-satunya.
Di Semarang, jurnalis Tempo mengalami nasib serupa. Kekerasan kembali terjadi di dua titik: gerbang Kantor Gubernur Jawa Tengah dan pintu gerbang Universitas Diponegoro, Peleburan. Polanya sama: intimidasi, kekerasan fisik, dan dugaan keterlibatan aparat berpakaian sipil.
“Kami mengecam dan mengutuk intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis,” tegas Erick Tanjung, Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), dalam siaran persnya, Jumat (2/5). Ia menegaskan bahwa peristiwa ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan kemerdekaan pers yang dilindungi undang-undang.
Tindakan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput proses pengamanan aksi demonstrasi menjadi praktik buruk yang terus dibiarkan di tubuh kepolisian. Intimidasi dan perampasan alat kerja merupakan bentuk tindakan secara melawan hukum yang menghalangi atau menghambat pemenuhan hak pers. Padahal, pers memiliki hak untuk mencari, mengolah dan menyebarkan informasi, termasuk proses pengamanan aksi unjuk rasa yang dilakukan secara tidak prosedural.
Komite Keselamatan Jurnalis menilai kasus ini sebagai pelanggaran berat terhadap jaminan perlindungan kerja jurnalistik sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Selain itu, tindak kekerasan oleh aparat Kepolisian berupa penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan luka berat pada jurnalis saat tengah menjalankan profesinya juga merupakan tindak pidana yang diatur dalam ketentuan Pasal 351 KUHP dengan ancaman 5 (lima) tahun penjara.
Desakan KKJ: Enam Tuntutan Tegas
Atas perkara tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis secara tegas menyampaikan enam desakan sebagai berikut:
  • Kepolisian untuk memproses aparat yang melakukan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis secara hukum pidana dan kode etik.
  • Kapolri beserta jajarannya untuk menghentikan segala bentuk tindakan penggunaan gas air mata, intimidasi, penghalang-halangan, penyerangan (represi), penangkapan dan kekerasan dalam bentuk apapun terhadap para jurnalis yang sedang bertugas dalam melakukan peliputan aksi publik sebagaimana dilindungi oleh undang-undang;
  • Panglima TNI beserta jajarannya untuk menarik mundur seluruh anak buahnya yang ditugaskan dalam pengamanan aksi sipil karena tidak sejalan dengan tugas dan kewajiban sebagaimana amanat Undang-undang;
  • Kapolri dan Panglima TNI beserta seluruh jajarannya untuk segera melakukan investigasi dan mengusut tuntas praktik kekerasan berupa penganiayaan, intimidasi dan penyerangan fisik yang menyasar jurnalis yang tengah menjalankan tugas peliputan;
  • Mengimbau para korban kekerasan untuk melaporkan seluruh bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan;
  • Mengimbau semua pihak, untuk ikut menjaga kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Liputan Bukan Kejahatan, Meliput Bukan Memusuhi
Dalam hiruk pikuk perayaan Hari Buruh, jurnalis tidak datang membawa batu atau poster tuntutan. Mereka membawa kamera, perekam suara, dan catatan. Mereka bukan pemicu konflik, melainkan saksi sejarah. Ketika jurnalis menjadi target kekerasan, maka yang diserang bukan hanya individu, tapi juga demokrasi.
Komite Keselamatan Jurnalis—yang terdiri dari 11 organisasi pers dan masyarakat sipil seperti AJI, LBH Pers, IJTI, PWI, YLBHI, SAFEnet, AMSI, dan Amnesty International Indonesia—menegaskan bahwa jurnalisme yang bebas adalah pondasi utama demokrasi.
Hari ini, kamera bisa dipaksa mati, catatan bisa disobek, dan jurnalis bisa dipukul. Tapi sejarah tak bisa dibungkam. Karena setiap serangan terhadap jurnalis, sejatinya adalah serangan terhadap hak publik untuk tahu. |WAW-JAKSAT