Pidato Prabowo di Hari Buruh, Kajian Politik Merah Putih: Sumpah Sakral atau Sekadar Romantisme Politik?
JAKARTASATU.COM– Di tengah terik matahari dan lautan massa yang berkumpul memperingati Hari Buruh Internasional, Presiden Prabowo Subianto tampil mengejutkan. Dengan tangan mengepal dan suara lantang, ia mengucap sumpah: “Demi Allah, saya akan selamanya membersamai kaum buruh hingga ajal menjemput.”
Koordinator Kajian Politik Merah Putih, Sutoyo Abadi, menyebut kemunculan Prabowo dalam peringatan Hari Buruh itu bak “panglima kaum proletar”. Sosok patriotik dalam dirinya, lanjut Sutoyo, kembali menyeruak—seolah mengulang memori pidato-pidato keras Prabowo era 2018, saat ia masih menjadi oposisi yang tajam terhadap penguasa dan oligarki.
Dalam pidatonya, Prabowo menyinggung ekonomi kerakyatan, jaminan sosial, serta keinginannya “mengambil alih kekayaan nasional dari tangan para bandit”. Narasi yang dahulu menjadi identitas perlawanan kini muncul kembali, meski konteks politiknya telah berubah: Prabowo kini adalah penguasa, bukan oposisi.
Namun, publik mulai bertanya—apakah ini awal dari kebangkitan nyata kaum buruh, atau hanya season terbaru dari serial politik bertajuk “Janji itu mudah, murah, dan gratis”?
Ekonom dan aktivis nasionalis, Said Didu, menyoroti tiga pilar yang seharusnya menjadi prioritas: anti-korupsi, pemerintah yang bersih, dan penguasaan aset negara. “Tiga pilar itu sudah cukup, rakyat hanya menunggu kapan Prabowo bertindak, bukan sekadar berpidato,” ujar Bung Said.
Selama enam bulan pemerintahan berjalan, janji-janji terdengar menggugah namun implementasinya dinilai lamban. Salah satu contohnya, pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional dan Satgas PHK—belum tampak jelas wujudnya, padahal gelombang PHK terus menghantam industri-industri padat karya.
Lebih dari Rp500 triliun bantuan diklaim telah digelontorkan ke rakyat. Tapi apakah benar menyentuh kehidupan kaum buruh? Atau justru bocor di tengah jalan karena ‘tikus-tikus berdasi’ lebih lihai dari tikus sawah?
“Buruh tidak butuh dewan, badan, atau satgas yang hanya muncul setelah rumah jadi abu,” kritik Sutoyo kepada wartawan, Sabtu (3/5/2025).
“Mereka butuh harga sembako yang masuk akal, upah layak, dan negara yang benar-benar hadir.” Imbuhnya.
Meski banyak mengkritisi, Sutoyo mengakui, pidato Prabowo kali ini menggugah. Bahkan cukup memesona untuk menjadi bahan meme politik selama seminggu ke depan. Minimal, rekaman sumpah Prabowo akan tersimpan sebagai kenangan sejarah.
Namun Sutoyo juga mengingatkan: “Jangan terlalu sering bersumpah atas nama Allah jika pada akhirnya tidak berdaya melawan Dajal kecil bernama oligarki, Jokowi, dan Xi Jinping.”
“Karena pada akhirnya, bagi buruh, perut butuh nasi, bukan narasi,” tandas Sutoyo. (Yoss)