TNI MEMBANGUN DEMOKRASI
Oleh: Radhar Tribaskoro, Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia
Selama dua dekade terakhir, demokrasi Indonesia berjalan dengan satu ketegangan konstan: bagaimana mengelola hubungan antara militer dan masyarakat sipil dalam sistem politik yang berubah. Sejak Reformasi 1998 dan penghapusan dwifungsi ABRI—yang dulu memberi militer peran ganda sebagai kekuatan pertahanan dan kekuatan politik—masyarakat sipil Indonesia terus mencurigai bahwa TNI menyimpan ambisi untuk kembali berkuasa dalam ranah sipil.
Kecurigaan ini bukan tanpa dasar historis, tetapi apakah masih relevan dalam konteks saat ini? Belakangan, polemik mencuat kembali saat pemerintah dan DPR mengusulkan revisi Undang-Undang TNI.
Sejumlah kalangan masyarakat sipil segera menafsirkan revisi ini sebagai upaya “menghidupkan kembali” dwifungsi. Kekhawatiran tersebut diperparah oleh konteks politik pasca-Pemilu 2024 yang menempatkan Gibran Rakabuming Raka—putra Presiden Joko Widodo—sebagai wakil presiden terpilih, dalam proses yang sejak awal dipersoalkan dari segi etik dan legalitas. Dalam lanskap inilah, munculnya Forum Purnawirawan TNI dan pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto menjadi penting untuk dibaca: apakah TNI kini bagian dari masalah demokrasi, atau bagian dari solusinya?
Antara Masa Lalu dan Masa Kini
Sebagai institusi, TNI membawa sejarah yang kompleks. Dalam era Orde Baru, militer bukan hanya alat pertahanan, tetapi juga pengelola birokrasi sipil, penentu kebijakan politik, bahkan pengendali ekonomi dalam banyak sektor. Meskipun Reformasi 1998 menghapus peran politik formal TNI melalui serangkaian reformasi hukum dan struktural, bayang-bayang masa lalu tetap membekas. Tidak mengherankan jika publik sipil kerap memandang dengan sinis setiap kebijakan yang memberi ruang bagi prajurit aktif untuk masuk ke ranah sipil. Namun, apakah institusi militer hari ini benar-benar masih terpaku pada bayang-bayang Orde Baru? Dalam beberapa tahun terakhir, TNI tidak lagi menempatkan kader-kadernya di DPR, tidak lagi mengelola birokrasi sipil secara formal, dan tidak lagi secara terbuka ikut campur dalam proses pemilu. Dalam banyak hal, TNI kini jauh lebih profesional, fokus pada urusan pertahanan dan keamanan negara. Dalam dua dekade terakhir nampak TNI berupaya sungguh-sungguh untuk menekankan netralitas politik, modernisasi alutsista, dan peran dalam menghadapi ancaman non-tradisional seperti terorisme dan bencana alam. Namun ketegangan antara militer dan sipil kembali naik ketika revisi UU TNI diajukan.
Revisi UU TNI: Simbol Ambisi atau Kebutuhan Zaman?
Revisi UU TNI mengundang banyak interpretasi. Salah satu pasalnya membuka peluang bagi prajurit aktif untuk menempati posisi di kementerian/lembaga sipil tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Ini dianggap sebagai ancaman oleh banyak aktivis masyarakat sipil, yang menilai bahwa ketentuan itu membuka jalan kembalinya dwifungsi melalui jalur administratif. Namun Presiden Prabowo memberikan klarifikasi penting: bahwa revisi ini tidak bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan militer, melainkan menyesuaikan kebutuhan negara terhadap keahlian militer dalam bidang-bidang tertentu—khususnya di masa ancaman asimetris dan tantangan keamanan multidimensi, seperti siber, terorisme, dan kebencanaan. Menurut Prabowo, TNI modern harus adaptif, dan negara perlu memanfaatkan keahlian mereka secara maksimal, tentu dalam batasan konstitusional. Ia menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem yang ia hormati, dan bahwa militer tidak akan digunakan sebagai alat kekuasaan. Penegasan ini penting, namun tetap tidak cukup untuk menenangkan kekhawatiran publik. Dalam demokrasi, niat baik pemerintah tetap harus dikawal melalui transparansi, pengawasan, dan partisipasi publik. Maka dalam konteks ini, munculnya Forum Purnawirawan menjadi peristiwa politik yang luar biasa penting.
Forum Purnawirawan: Jenderal untuk Demokrasi?
Baru-baru ini, muncul Forum Purnawirawan TNI yang terdiri dari ratusan jenderal dan perwira tinggi. Forum ini mengejutkan publik dengan delapan tuntutan politik, salah satunya menyerukan agar Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka dimakzulkan. Ini bukan sekadar pernyataan politik biasa. Dalam sejarah Indonesia pasca-Reformasi, sangat jarang (bahkan mungkin belum pernah) para purnawirawan jenderal TNI secara terbuka menantang legalitas seorang wakil presiden. Tuntutan ini muncul bukan dari LSM, bukan dari partai oposisi, tetapi dari orang-orang yang pernah memegang senjata, menduduki pucuk komando pertahanan, dan menjadi bagian dari tulang punggung negara.
Mengapa ini penting?
Pertama, karena Forum Purnawirawan tidak sedang merebut kekuasaan, melainkan menagih akuntabilitas demokratis. Tuntutan mereka didasarkan pada fakta bahwa pencalonan Gibran dianggap melanggar prinsip keadilan elektoral dan memanipulasi konstitusi. Bahwa Gibran adalah anak Presiden Jokowi hanya memperkuat persepsi bahwa kekuasaan tidak lagi tunduk pada sistem, tetapi dikendalikan oleh hubungan kekerabatan. Kedua, pernyataan para jenderal ini tidak dibarengi dengan ancaman kekuatan bersenjata. Mereka tidak mengerahkan pasukan, tidak mengambil alih kantor lembaga negara, tidak mengeluarkan ultimatum. Mereka menyampaikan pendapat sebagai warga negara yang memiliki pengalaman panjang di jantung kekuasaan. Inilah bentuk baru militerisme sipil—jika boleh disebut begitu—di mana para mantan jenderal justru menjadi penjaga demokrasi, bukan perusaknya. Ketiga, keberanian mereka membuka ruang baru bagi dialog sipil-militer yang sehat. Selama ini, masyarakat sipil sering terjebak dalam dikotomi “militer = ancaman demokrasi”.
Namun ketika para purnawirawan TNI menyuarakan kritik yang sama dengan aktivis sipil, terlihat jelas bahwa demokrasi bukan milik satu kelompok saja. TNI: Masih Harus Dipantau, Tapi Jangan Diasingkan Tentu saja, tidak semua anggota TNI atau purnawirawan bersikap sama. Sebagian tetap menunjukkan loyalitas personal kepada Presiden Jokowi atau Presiden terpilih Prabowo. Sebagian mungkin merasa bahwa stabilitas lebih penting daripada idealisme demokrasi.
Tetapi dalam sistem demokrasi, keberagaman pendapat seperti itu adalah hal biasa. Yang harus dijaga adalah kemampuan kita untuk menilai niat dari tindakan. Jika TNI (baik aktif maupun purnawirawan) bertindak dalam kerangka hukum, menjaga netralitas, dan menyuarakan aspirasi rakyat secara damai, maka tidak ada alasan untuk menuduh mereka hendak menghidupkan dwifungsi. Jangan pula dilupakan bahwa para purnawirawan itu secara administratif adalah sipil, mereka sudah mewakili masyarakat sipil walau berasal dari almamater berbeda.
Sebaliknya, menuduh setiap peran militer sebagai bentuk Orde Baru yang hidup kembali justru mempersempit ruang kemitraan sipil-militer yang konstruktif. Jangan kita lupa ketika Letjen Kunto Arief Wibowo, saat itu Mayjen dan menjabat Pangdam Siliwangi, menulis artikel di Harian Kompas, April 2023, dengan judul “Etika Menuju 2024”. Pada tulisan itu Jenderal Kunto memecah kebuntuan politikus dan kebekuan lembaga politik dengan menyerukan komitmen kepada pemilu yang jujur dan adil. Pernyataan itu sangat berani karena muncul dari personil TNI yang hidup dalam ancaman demosi. Tetapi seharusnya jelas bahwa dukungan kepada demokrasi tidak terbatas pada masyarakat sipil saja tetapi juga — termasuk militer.
Demokrasi Bukan Milik Sipil Saja
Dalam banyak negara, militer justru menjadi aktor penting dalam menjaga demokrasi. Di Turki, militer memainkan peran ganda—kadang mengancam demokrasi, kadang menjadi pelindungnya dari ekstremisme. Di Amerika Serikat, militer menolak tunduk pada tekanan Donald Trump untuk mengintervensi pemilu 2020. Di Korea Selatan, para jenderal akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada sistem sipil setelah perjuangan panjang gerakan rakyat. Di Afrika, militer bisa menjadi pelindung rakyat — atau menjadi alat kudeta. Demokrasi adalah sistem yang terus tumbuh.
Bukan hanya masyarakat sipil yang belajar berdemokrasi, tetapi juga militer. Maka jangan kita tutup pintu untuk keterlibatan TNI dalam proses demokratisasi, asalkan tetap dalam koridor konstitusi. Munculnya Forum Purnawirawan membuktikan bahwa TNI bisa menjadi kekuatan moral yang berdiri bersama rakyat, bukan di atas rakyat. Ini bukan pengulangan dwifungsi, melainkan bentuk baru dari fungsi advokasi konstitusional, yang justru sangat dibutuhkan ketika institusi sipil melemah atau dikooptasi oleh kekuasaan. Gibran: Simbol Krisis Etika Demokrasi Ketika Forum Purnawirawan meminta agar Gibran dimakzulkan, mereka tidak sekadar menggugat seorang wakil presiden.
Mereka menggugat praktik politik yang melecehkan akal sehat publik. Pencalonan Gibran telah menjadi luka terbuka dalam tubuh demokrasi Indonesia. Ia mewakili berbagai pelanggaran prinsip: konflik kepentingan, manipulasi MK, pembungkaman KPU, dan kooptasi media. Ketika masyarakat sipil menyuarakan ini, mereka dianggap partisan. Tetapi ketika para jenderal ikut bersuara, publik mulai mendengarkan dengan cara berbeda. Mungkin inilah yang dibutuhkan demokrasi Indonesia saat ini: aliansi moral antara sipil dan militer, bukan dalam rangka merebut kekuasaan, tapi dalam rangka menjaga kredibilitas sistem.
Penutup: Bangsa Ini Butuh Semua Kekuatan Baik
Membangun demokrasi di Indonesia tidak bisa dilakukan oleh aktivis saja. Tidak cukup oleh partai politik. Tidak cukup oleh media atau pengamat. Kita butuh seluruh elemen bangsa — termasuk mereka yang pernah berdinas di militer. TNI, sebagai institusi, telah banyak berbenah. Dan sekarang, para purnawirawan menunjukkan bahwa mereka tidak hanya bisa memimpin perang, tetapi juga berdiri di garis depan menjaga etika republik. Kita tetap perlu waspada, tentu saja. Kekuasaan tanpa pengawasan selalu berbahaya, tak peduli siapa pemiliknya.
Tetapi dalam konteks Indonesia hari ini, kehadiran Forum Purnawirawan bukanlah sinyal kemunduran, melainkan kemungkinan awal kebangkitan moral nasional. TNI mungkin tidak sempurna. Tapi bila mereka kini memilih untuk berdiri bersama rakyat dalam mempertanyakan legitimasi kekuasaan yang cacat, maka patutlah kita menyambut mereka — bukan dengan curiga, melainkan dengan kemitraan yang setara dan kritis.===
Cimahi, 3 Mei 2025