AENDRA MEDITA/ist

Komunikasi Politik di Era Digital: Antara Gagasan, Algoritma, dan Harapan Publik

Oleh Aendra Medita*)

KOMUNIKASI politik hari ini tidak lagi sekadar orasi di mimbar atau kampanye di baliho. Ia telah berubah menjadi seni membaca algoritma, membentuk narasi cepat, dan memengaruhi persepsi publik dalam hitungan detik.
Di era digital dan disrupsi informasi, komunikasi politik telah menjadi panggung utama pertarungan gagasan, citra, dan kadang—sayangnya—kebohongan.
Namun, perubahan teknologi tidak serta-merta membawa perbaikan dalam substansi komunikasi politik kita. Banyak elite politik lebih tertarik bermain di permukaan: menciptakan konten viral daripada menyusun solusi konkret. Mereka lebih peduli pada engagement ketimbang kejujuran. Di titik inilah kita menghadapi krisis kepercayaan terhadap politik.
Generasi muda, yang kini mendominasi populasi pemilih, tidak mudah dibodohi. Mereka cerdas, kritis, dan sangat responsif terhadap keaslian. Komunikasi politik yang hanya bersandar pada gimmick tidak akan bertahan lama. Hari ini, kejujuran dan transparansi adalah strategi terbaik.
Perspektif kekinian menuntut komunikasi politik yang:
1.Berbasis data dan bukti, bukan sekadar opini.
2.Memanfaatkan teknologi secara etis, tidak manipulatif.
3.Responsif terhadap isu sosial, seperti keadilan, lingkungan, dan kesejahteraan rakyat.
4.Inklusif terhadap suara minoritas, bukan hanya membela mayoritas demi suara.
Kita butuh pemimpin yang memahami bahwa komunikasi politik bukan hanya untuk “menang”, tapi untuk “menyatukan”. Bukan hanya untuk “viral”, tapi untuk “berdampak”.  Hari ini bukan lagi politisi yang bicara banyak, tapi yang berbicara dengan jelas, tegas, dan bertanggung jawab.
Dalam perspektif kekinian, komunikasi politik harus menjadi ruang dialog, bukan ruang propaganda. Harus ada keberanian untuk mengatakan kebenaran, walau tidak populer. Harus ada komitmen untuk mendengarkan rakyat, bukan hanya menaklukkan mereka dengan citra.
Indonesia sedang bergerak menuju arah baru. Maka komunikasinya juga harus baru—lebih jujur, lebih segar, lebih manusiawi. Jika tidak, politik hanya akan jadi panggung sandiwara yang cepat basi di tengah kesadaran publik yang semakin cerdas.
John F. Kennedy pernah berkata, “Let us never negotiate out of fear. But let us never fear to negotiate.” Kalimat ini relevan untuk politik Indonesia hari ini—komunikasi politik harus menjadi ruang negosiasi gagasan, bukan medan tempur kebencian.
Sayangnya, realitas kita berkata lain. Komunikasi politik saat ini lebih sering digunakan untuk memperkuat sekat daripada menjahit perbedaan. Alih-alih menjelaskan kebijakan, banyak pemimpin lebih sibuk menjaga pencitraan. Padahal, Soekarno sudah mengingatkan kita, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya,” dan pahlawan hari ini adalah mereka yang berani jujur menyampaikan realita dan mengajak rakyat berpikir kritis.
Di era digital, komunikasi politik seharusnya menjadi alat untuk mencerdaskan rakyat. Komunikasi politik strategis bukan berarti manipulatif, tapi visioner. Bukan tentang memoles kata-kata, tapi tentang keberanian menjelaskan masalah dan mengajak publik ikut memecahkannya. Di titik ini, kita rindu komunikasi yang merakyat, jujur, dan membumi seperti Bung Hatta yang selalu berbicara dengan data dan nurani.
Ke depan, Indonesia perlu menata ulang cara para pemimpinnya berkomunikasi. Bukan hanya menyampaikan program, tapi mengajak publik memahami arah bangsa. Nelson Mandela menegaskan, “If you talk to a man in a language he understands, that goes to his head. If you talk to him in his language, that goes to his heart.” Maka tugas pemimpin hari ini adalah berbicara dalam bahasa rakyat—bahasa yang jujur, bersahaja, dan penuh solusi.
Di tengah tantangan sosial dan kemajuan yang belum merata, komunikasi politik adalah jawaban. Tapi hanya jika dijalankan dengan tanggung jawab, kepekaan, dan visi besar kebangsaan.

 

*)analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) Jakarta

JAGAKARSA, 4 Mei 2025