JAKARTASATU.COM– Setiap tahunnya, tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia, yang berakar dari Deklarasi Windhoek pada 1991. Deklarasi ini lahir dari seminar UNESCO di Windhoek, Namibia, sebagai respons atas represi, sensor, dan diskriminasi terhadap pekerja media, terutama di bawah sistem apartheid di Afrika Selatan. Saat itu, jurnalis kulit hitam mengalami ketidaksetaraan hak dibandingkan rekan kulit putih.
Deklarasi Windhoek menegaskan pentingnya independensi media, pluralisme, dan kebebasan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia. Pada 1993, Majelis Umum PBB secara resmi menetapkan 3 Mei sebagai hari peringatan global, yang kini menjadi simbol perjuangan dan solidaritas bagi kebebasan pers.
Namun, meski telah lebih dari tiga dekade sejak deklarasi itu, kebebasan pers masih menghadapi tantangan berat di banyak negara. Kasus terbaru menunjukkan peningkatan kekerasan, intimidasi, dan pembatasan terhadap jurnalis. Di Myanmar, junta militer terus membungkam media independen, dengan puluhan wartawan dipenjara sejak kudeta 2021. Sementara di Rusia, undang-undang “anti-pemberitaan palsu” digunakan untuk membatasi pemberitaan perang di Ukraina, memaksa banyak media tutup atau bekerja di pengasingan.
Di Afrika, jurnalis di Nigeria dan Somalia masih menghadapi ancaman pembunuhan dan penculikan oleh kelompok militan. Sementara di Amerika Latin, Meksiko tercatat sebagai salah satu negara paling berbahaya bagi wartawan, dengan 15 jurnalis tewas pada 2024 saja.
Komnas HAM menegaskan bahwa kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang harus dilindungi. “Tanpa pers yang bebas, hak publik untuk mengetahui dan mengawasi kekuasaan akan terancam,” kata Komnas HAM di akun X-nya.
Di tengah tantangan global ini, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini mengusung tema “Jurnalisme di Bawah Pengepungan Digital”, menyoroti ancaman sensor online, pengawasan massal, dan disinformasi yang kian mengkhawatirkan.
Para pegiat media mendesak pemerintah di berbagai negara untuk menghormati komitmen Windhoek dan menjamin perlindungan bagi pekerja pers. Sebab, seperti dikatakan dalam deklarasi itu: “Pers yang bebas bukanlah sebuah kemewahan, tapi fondasi dari masyarakat yang demokratis.” (RIS)