Ini Biang Kerok Perseteruan Menteri ESDM Dengan Dirut PGN
JAKARTASATU.COM – Pengakuan Dirut PGN, Arief Setiawan Handoko di Komisi XII DPR RI pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) tanggal 29 April 2025 kemarin seolah menggambarkan bahwa kondisi genting pasokan gas bumi untuk industri dan komersial di Jawa Barat dan sekaligus Sumatera Tengah dan Utara ini memantik reaksi keras Menteri ESDM.
Demikian diungkapkan Sekretaris Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Hengki Seprihadi, Senin (5/5/2025) menyampaikan pendapat seorang mantan petinggi Pertamina.
“Reaksi Menteri ESDM Bahlil Lahadalia membantah keras adanya kondisi genting pasokan gas itu. Dilansir berbagai medis 2 Mei 2025, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menepis kabar defisit gas yang diprediksi Dirut PGN akan terjadi di Indonesia,” ungkap Hengki.
Menurut Bahlil, pihak yang paling tepat menghitung soal potensi gas adalah SKK Migas dan Kementerian ESDM, bukan PGN.
“PGN itu kan menerima hasilnya dan menjual,” kata Bahlil kepada wartawan di Kompleks Kementerian ESDM, pada Jumat, 2 Mei 2025.
Menurut Bahlil, alih-alih defisit, lifting gas di Indonesia justru bakal mulai naik pada 2026-2027. Kenaikan produksi gas tersebut bakal disumbangkan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) asal Italia, yakni ENI.
“Kemudian, dari Mubadala (KKKS dari Uni Emirat Arab), dari beberapa sumur-sumur yang ada,” ujar Politikus Partai Golkar ini.
Akan tetapi panasnya hubungan Menteri ESDM dengan Dirut PGN sudah dimulai ketika Menteri ESDM pada 22 Januari 2025 mengeluarkan keputusan pembatalan penugasan kepada PT PGN untuk membangun pipa gas bumi dari pipa West Natuna Transportation System (WNTS) sepanjang 50 km ke Pulau Pemping Kepulauan Riau dengan nilai investasi USD 60 juta, dengan mengalihkan penugasan ke PLN EPI.
*Sudah bisa diketahui sejak awal*
Pernyataan Arief Handoko di DPR Komisi XII itu, menurut Hengki mengutip pernyataan mantan petinggi Pertamina iru, tak pelak membuat kening berkerut, apalagi di saat isu reshuffle kabinet akan berlangsung. Sebab, kondisi genting pasokan gas itu sudah bisa diketahui sejak awal tahun 2000-an lalu, Arief Handoko selaku mantan Deputy Keuangan dan Komersial SKK Migas pasti paham sejak lama.
“Informasi yang disampaikan pada RDP kemarin memang membuat ketakutan kalangan investor dan pengusaha. Para pengusaha pelanggan gas PGN merasa dijebak masuk ke dalam situasi tak menentu, sehingga mereka tidak mampu lagi membuat perencanaan strategis dan operasionalnya,” ujar mantan petinggi Pertamina itu.
Dikatakan mantan petinggi Pertamina itu, situasi kegentingan pasokan gas yang digambarkan Dirut PGN ini semestinya sudah diinformasikan sejak lama. Namun kenyataannya, di tengah situasi perekonomian yang sangat tidak kondusif saat ini, tiba-tiba Dirut PGN malah ikut memperkeruh situasi dengan melempar batu kegentingan pasok gas terkesan seperti ingin cuci tangan.
“Padahal, dampak kegentingan pasok gas pada kalangan pengusaha industri dan komersial, yang sudah puluhan tahun menjadi pelanggan gas PGN tentu sangat mengkhawatirkan apalagi di tengah kondisi perekonomian global yang juga sulit,” ungkap mantan petinggi Pertamina itu.
Sejak kontrak pasok gas dari Sumatera Selatan ditandatangani di awal 2000 an, lanjut mantan petinggi Pertamina itu, semestinya PGN paham bahwa kegentingan pasokan pasti akan terjadi paska berakhirnya kontrak pasok gas diawal 2020 an lalu. Parahnya, kondisi ini tidak disampaikan secara jelas pada para pemangku kepentingan dan malah PGN terus memperbanyak jumlah pelanggan industri dan komersial.
“Lucunya lagi, Dirut PGN saat ini, dulunya adalah Deputi di SKK Migas dan merupakan orang yang pernah mengatur pemanfaatan gas domestik. Jadi kok baru sekarang beliau itu mengungkapkan isu ini. Dilihat dari latar belakangnya, Dirut ini cukup mumpuni namun kenyataannya kok seperti ini,” ungkap Hengki menguraikan keterangan mantan petinggi Pertamina itu lagi.
Menurutnya, penugasan Arief Handoko selaku Dirut PGN berawal dari kegentingan akibat kontrak jual beli LNG dengan Gunvor Singapore Pte Ltd yang saat ini sedang berperkara di The London Court of International Arbritation. Kontrak LNG bermasalah yang diwariskan Dirut PGN sebelumnya, yaitu Haryo K Yunanto.
“Sebagai mantan deputi di SKK migas, Arief ini dianggap mampu oleh Dirut Pertamina saat itu untuk mengatasi masalah jual beli LNG tersebut. Anehnya, setelah menjabat, fokus kerja Oko, panggilan Arief, bergeser dari penyelesaian kasus LNG menjadi lebih fokus pada upaya untuk menambah pendapatan dengan menaikkan harga gas PGN guna mengantisipasi penurunan pasok gas di hulu. Sayangnya, upaya ini dilakukan dengan cara yang tidak transparan dan berkesan ditutup-tutupi,” beber mantan petinggi Pertamina itu.
Di awal karir di PGN, Arief mengamini kenaikan harga pasok gas yang diusulkan Medco, yaitu tempat Arief parkir sementara setelah berhenti dari SKK Migas, namun gagal akibat ditolak Bahlil.
“Tidak putus asa, sejak tahun 2023 PGN merekrut Muhammad Anas Pradipta alias Anas yang merupakan kepercayaan Arief sewaktu di SKK Migas untuk menjadi Kepala Divisi pasokan gas di PGN,” beber mantan petinggi Pertamina itu.
Orang ini, ujar mantan petinggi Pertamina itu, digaungkan mampu membawa banyak pasokan gas baru untuk PGN. Belum genap setahun di PGN, tahun 2024 Anas langsung dipromosikan menjadi Group Head Gas & LNG Trading walaupun kontribusinya ke Perseroan masih baru sekedar wacana.
“Padahal, untuk menjadi seorang Group Head di PGN tidak lah mudah, minimal sudah bekerja kurang lebih 20 tahun dan mempunyai prestasi yang gemilang. Promosi Anas yang minim kinerja ini menimbulkan banyak kecemburuan dan kecurigaan di kalangan pegawai PGN sendiri,” beber mantan petinggi Pertamina itu.
Informasi yang beredar mengindikasikan Anas sebagai “Golden Boy” Arief saat ini, sehingga seorang Direktur Komersial PGN, Ratih Esti Prihatini, tidak berani mengambil sikap kepada Anas.
“Padahal, Ratih ini juga salah satu orang kuat karena dicurigai bagian dari group ‘ misterJames’ yang saat ini terkenal dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan BBM periode 2018-2023. Favoritisme yang dilakukan Arief di PGN ini katanya sudah menimbulkan dampak buruk pada harmonisasi dan produktifitas pegawai. Salah satu indikasinya adalah beredarnya isu dan surat kaleng yang memecah belah kebersamaan di lingkungan kerja PGN,” beber mantan petinggi Pertamina itu.
Pasokan dari Medco Sumsel
Menurut salah seorang mantan petinggi Pertamina itu kepada Hengki, permasalahan defisit gas PGN terutama dari sumber pasok Medco Koridor Sumsel sebetulnya sudah diketahui Arief Handoko dan Anas sejak tahun 2023 dimana perpanjangan kontrak tersebut ditandatangani.
“Kontrak pasok ini jelas mengindikasikan bahwa mulai tahun 2025 terjadi penurunan signifikan pasok gas dari Medco dan terus berlangsung sampai tahun 2028 dengan volume penyaluran hanya 100 Bilion British Thermal Unit per Day (BBTUD),” beber mantan petinggi Pertamina itu.
Menurut mantan petinggi Pertamina itu, kegagalan Anas mendapatkan pasokan gas untuk menutupi kekurangan pasokan dari blok Koridor Medco Sumsel, diatasi dengan LNG. Sayangnya, Anas gagal lagi memenuhi kebutuhan LNG PGN yang kemudian diakali dengan skema pinjam pakai LNG milik PLN.
“Oleh sebab itu, sejak Mei 2024 diberlakukanlah pembatasan alokasi penggunaan gas pipa untuk pelanggan industri dan komersial PGN. Sejak bulan Mei itu, seluruh pelanggan dipaksa untuk membayar 45% dari biaya gasnya dengan harga LNG yang jauh lebih mahal,” kata mantan petinggi Pertamina itu.
Anehnya, katanya, pasokan LNG yang didapat PGN sepanjang tahun 2024 itu tidak sampai 45% dari total volume gas terdistribusi di tahun itu. Cara inilah yang memungkinkan PGN mencatatkan perbaikan kinerja di tengah kondisi pasok gas yang terus turun.
“Jebloknya kinerja keuangan kwartal pertama 2025 ini mendorong Arief, dengan dukungan penuh dari Ratih, untuk kembali memaksa pelanggan membayar tidak lagi 45% tapi 100% harga LNG untuk seluruh gas yang dijual PGN dan harganya jauh lebih tinggi lagi,” kata mantan petinggi Pertamina itu.
“Kondisi ini membuat banyak asosiasi industri pengguna gas sesak napas dan tidak bisa tidur, hal ini memaksa mereka mengurangi produksi, mem PHK kan sebagian karyawan, bahkan kadang sampai harus merelokasi pabrik-pabriknya ke provinsi atau negara lain,” ungkapnya.
Hengki kemudian mengutarakan, guna mencegah dampak yang lebih buruk, industri di Jawa Barat berharap Pemerintah segera melakukan perombakan, pembenahan dan perbaikan di pucuk manajemen PGN sebagaimana Perintah Presiden Prabowo pada acara Danantara tanggal 28 April 2025 kemarin.(*)