Ketika Demokrasi Terjebak Feodalisme Media

Oleh: Aendra Medita*)

Saya pernah bicara Kebebasan pers dalam demokrasi pada hari Hari Kebebasan Pers Sedunia atawa World Press Freedom Day 3 Mei 2005 di media Voice of Amerika (VoA) tepat peringatan World Press Freedom Day itu saya secara pribadi pernah menyuarakan saat berada di Washington DC dalam rangka mengahadiri undangan liputan “Festival Film dan Fotografi US-Asean 2005” yang digelar oleh The Grace Heritage Foundation acaranya berlangsung di National Geographic Museum, Washington DC Amerika Serikat.
Tepat saat itu 2005 di Amerika hari pers dunia ditandai dengan menyematkan nama Ersa Siregar jurnalis RCTI yang gugur dalam tugas di Aceh. Jurnalis Ersa Siregar masuk dalam list name di Newsmuseum Washington DC, sebuah papan nama para pejuang pers dunia. Yang bisa masuk daftar Newsmuseum itu mereka adalah pejuang yang melawan pembungkaman, sensor dan penangguhan, serta untuk mengenang para jurnalis, editor, penerbit yang kehilangan nyawa saat dalam bertugas di seluruh dunia.
Washington DC memang banyak museum. Dalam seminggu jika kita menjelajahi museum di Washington DC ini baru akan selesai. Museum disana mulai dari seni aerospace sampai yang baru saat saya disana baru diresmikan adalah Museum American Indiana. Kawasan ini berderet disekitar St SW, Washington, DC, Amerika Serikat atau dikenal dengan National Mall yang pengelolaannya  Organisasi induk Institusi bernama Smithsonian.
Tahun ini hari 3 Mei adalah  hari pers dunia. Saya punya catatan

“Di VoA saya bilang, kebebasan pers adalah napas demokrasi. Tanpa pers yang bebas, demokrasi hanya jargon. Tapi saya tak menyangka, dua dekade kemudian, napas itu makin sesak di negeri sendiri.”

Saya saat itu  di studio Voice of America (VoA) Washington DC tahun 2005, sebagai salah satu jurnalis dari Asia yang bicara soal kebebasan pers pasca-reformasi. Kala itu, saya membawa semangat besar dari Indonesia. Bangga dengan kemajuan. Kita baru saja menanggalkan sensor Orde Baru. Redaksi mulai berani bicara. Telepon “atas” tak lagi jadi momok. Saya bilang dengan yakin, “Pers Indonesia akan jadi kekuatan demokrasi dunia.”

Namun kini, dua puluh tahun setelah pidato itu, saya menulis dengan perasaan campur aduk. Ada kecewa, ada marah, dan ada perasaan ditampar realitas: demokrasi kita tak benar-benar tumbuh. Kebebasan pers kita menyusut. Dan yang lebih menyakitkan—media kita perlahan terjebak dalam struktur kekuasaan feodalistik yang diam-diam beranak-pinak.

Kita menyebut diri negara demokratis. Tapi praktiknya, kita menari di atas panggung yang ditata oleh elite. Media tak sepenuhnya menjadi milik publik. Ia menjadi ladang kompromi antara pemilik modal, kekuasaan politik, dan kepentingan pemodal besar. Saya tak bicara halusinasi. Saya bicara kenyataan.

Lihatlah bagaimana berita bisa “diminta” untuk tidak tayang. Bagaimana jurnalis bisa “diatur” dengan telepon kekuasaan. Bagaimana media bisa tunduk oleh iklan dan sumbangan yang ditaruh dengan niat mengendalikan.

“Saya pernah percaya bahwa kebebasan pers akan tumbuh seiring demokrasi. Tapi yang saya saksikan hari ini: demokrasi kita malah melahirkan kasta baru dalam dunia media. Feodalisme dalam wujud baru.”

Feodalisme dalam demokrasi terjadi ketika kekuasaan politik dan ekonomi bertaut erat, dan media hanya menjadi perpanjangan tangan. Banyak redaksi tidak lagi menjadi ruang perlawanan atau suara publik, tapi menjadi showroom pencitraan kekuasaan. Jurnalis yang kritis justru dimusuhi oleh institusi sendiri. Bahkan, ada yang dilabeli “tak tahu etika,” hanya karena memilih bicara jujur.

Banyak wartawan hari ini hidup dalam tekanan. Bukan hanya fisik, tapi juga mental dan struktural. Mereka dituntut cepat, murah, loyal—namun tak diberi ruang untuk menolak tekanan kekuasaan. Ketika ada konflik kepentingan, mereka disuruh diam. Ketika ada kebenaran pahit, mereka disuruh bungkam.

Itu bukan demokrasi. Itu kemasan demokrasi dengan isi feodalistik.

Saya menunduk di Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025 ini, bukan karena kehilangan harapan. Tapi karena saya tahu, kebebasan sejati tak akan datang dari atas. Ia harus diperjuangkan dari bawah—oleh para jurnalis, oleh redaktur yang masih idealis, oleh pembaca yang kritis, oleh pemilik media yang berani menolak dikendalikan.

“Di VoA saya percaya bahwa kata-kata adalah senjata paling tajam. Hari ini saya percaya: hanya keberanian yang bisa membuat senjata itu menembus kebohongan yang sudah dilembagakan.”

Mari kita kembalikan pers kepada rakyat. Kembali pada idealisme. Kembali pada keberanian menulis, walau dunia membungkam. Karena sejarah tidak mencatat siapa yang diam. Sejarah hanya mengenang mereka yang menolak tunduk.

KIta tahu juga bahwa sejarah 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia, yang berakar dari Deklarasi Windhoek pada 1991. Deklarasi ini lahir dari seminar UNESCO di Windhoek, Namibia, sebagai respons atas represi, sensor, dan diskriminasi terhadap pekerja media, terutama di bawah sistem apartheid di Afrika Selatan.

Di tengah tantangan global ini, peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini mengusung tema “Jurnalisme di Bawah Pengepungan Digital”, menyoroti ancaman sensor online, pengawasan massal, dan disinformasi yang kian mengkhawatirkan.

Para pegiat media mendesak pemerintah di berbagai negara untuk menghormati komitmen Windhoek dan menjamin perlindungan bagi pekerja pers. Sebab, seperti dikatakan dalam deklarasi itu: “Pers yang bebas bukanlah sebuah kemewahan, tapi fondasi dari masyarakat yang demokratis.” Semoga saja saat ini pers tidak terjebak dan Ketika Demokrasi Terjebak Feodalisme Media akan seperti apa nanti, lihat saja nanti. TABIK…!!!

*)SEORANG JURNALIS dan Tulisan ini merupakan refleksi personal dalam rangka Hari Kebebasan Pers Sedunia 2025.